yang 25
rupiah, uangku
Bulan
itu bulan istimewa, yaitu Ramadhan. Tahunnya, seingat saya masih di zaman Orde
Baru. Jauh sebelum ada gejala reformasi. Malah beberapa tahun sebelum pemilu
1997. Atau satu dua tahun pasca pemilu 1992.
Dekat
rumah kami, rumah pojok yang kosong, oleh pengurus RT dijadikan tempat sholat
isya; dan tarawih. Penghuni kawasan perumahan produk KPR-BTN kebanyakan
keluarga muda, artinya kebanyakan anak masih di SD. Bersyukur ada imam tetap. Terkadang
ada kultum bakda sholat isya’.
Jamaahnya
seperti kumpul warga. Lebih ramai oleh suara anak segala tingkatan usia. Karena
dikelola oleh warga, untuk warga secara swadaya maka disediakan kotak amal. Serta
kotak sholat tarawih.
Seperti
lazimnya masjid, bakda sholat isya’, panitia mengumumkan hasil perolehan uang
masuk dari jamaah atau warga.
Ketiga
anak saya yang saat itu masih balita, termasuk rajin ikut sholat. Banyak kawan
menambah semangat untuk berkompetisi. Kalau zaman sekarang, di masjid dua
lantai, anak yang berjamaah dalam bentuk komunitas anak. Ada anak pengajian
masjid. Ada yang ikut orang tuanya. Tak kurang yang menjadikan masjid sebagai
area kumpul dan bermain anak.
Melatih
anak untuk beramal, bersedekah dengan membawa uang logam. Seolah mereka enggan
ke tarawih jika tak pegang uang. Walau sudah tahu uang, karena faktor ajar dan faktor
didik, ketiga anak saya tidak mau jajan. Selain saat itu warung warga masih jarang. Semua anak saya perempuan.
Diajari ibunya yang sebagai PNS untuk kenal dapur. Agar mandiri jika siang
pulang sekolah, bisa masak sendiri.
Namanya
anak, terkadang mereka saling mengecek uang yang dibawa. Seperti harus sama
banyak. Yang membuat anak saya bangga jika panitia mengumumkan perolehan uang
dari kotak tarawih, jika disebutkan jumlahnya yang dua digit terakgir disebut
25 rupiah. Anak saya bangga dalam hati, “itu uangku”. Bisa terjadi kalau tiga anak saya masing-masing bawa uang
logam nominal 25 rupiah. Atau dua anak tidak bawa tetapi satunya bawa.
Uang
Rp 25 kalau dkonversikan ke zaman sekarang entah sudah jadi berapa. Yang jelas
uang logam Rp 500,00 tergeletak di jalan tidak ada yang pungut. Masih berguna
untuk bayar pajak pak Ogah yang membantu pak Poltas. Jangan coba-coba untuk
dikasihkan ke pengemis, bisa-bisa tidak akan didoakan murah rezeki.
Kisah
uang 25 rupiah agaknya masih membekas di hati sang anak. Terutama saat bulan
Ramadhan. Akhirnya sang anak terbentuk untuk berbagai rezeki. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar