Halaman

Selasa, 20 Juni 2017

yang 25 rupiah, uangku



yang 25 rupiah, uangku

Bulan itu bulan istimewa, yaitu Ramadhan. Tahunnya, seingat saya masih di zaman Orde Baru. Jauh sebelum ada gejala reformasi. Malah beberapa tahun sebelum pemilu 1997. Atau satu dua tahun pasca pemilu 1992.

Dekat rumah kami, rumah pojok yang kosong, oleh pengurus RT dijadikan tempat sholat isya; dan tarawih. Penghuni kawasan perumahan produk KPR-BTN kebanyakan keluarga muda, artinya kebanyakan anak  masih di SD. Bersyukur ada imam tetap. Terkadang ada kultum bakda sholat isya’.

Jamaahnya seperti kumpul warga. Lebih ramai oleh suara anak segala tingkatan usia. Karena dikelola oleh warga, untuk warga secara swadaya maka disediakan kotak amal. Serta kotak sholat tarawih.

Seperti lazimnya masjid, bakda sholat isya’, panitia mengumumkan hasil perolehan uang masuk dari jamaah atau warga.

Ketiga anak saya yang saat itu masih balita, termasuk rajin ikut sholat. Banyak kawan menambah semangat untuk berkompetisi. Kalau zaman sekarang, di masjid dua lantai, anak yang berjamaah dalam bentuk komunitas anak. Ada anak pengajian masjid. Ada yang ikut orang tuanya. Tak kurang yang menjadikan masjid sebagai area kumpul dan bermain anak.

Melatih anak untuk beramal, bersedekah dengan membawa uang logam. Seolah mereka enggan ke tarawih jika tak pegang uang. Walau sudah tahu uang, karena faktor ajar dan faktor didik, ketiga anak saya tidak mau jajan. Selain saat itu warung  warga masih jarang. Semua anak saya perempuan. Diajari ibunya yang sebagai PNS untuk kenal dapur. Agar mandiri jika siang pulang sekolah, bisa masak sendiri.

Namanya anak, terkadang mereka saling mengecek uang yang dibawa. Seperti harus sama banyak. Yang membuat anak saya bangga jika panitia mengumumkan perolehan uang dari kotak tarawih, jika disebutkan jumlahnya yang dua digit terakgir disebut 25 rupiah. Anak saya bangga dalam hati, “itu uangku”. Bisa terjadi  kalau tiga anak saya masing-masing bawa uang logam nominal 25 rupiah. Atau dua anak tidak bawa tetapi satunya bawa.

Uang Rp 25 kalau dkonversikan ke zaman sekarang entah sudah jadi berapa. Yang jelas uang logam Rp 500,00 tergeletak di jalan tidak ada yang pungut. Masih berguna untuk bayar pajak pak Ogah yang membantu pak Poltas. Jangan coba-coba untuk dikasihkan ke pengemis, bisa-bisa tidak akan didoakan murah rezeki.

Kisah uang 25 rupiah agaknya masih membekas di hati sang anak. Terutama saat bulan Ramadhan. Akhirnya sang anak terbentuk untuk berbagai rezeki. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar