NKRI
tabung reaksi ideologi oplosan, rakitan, kanibal kualitas impor
Di paruh periode akhir 2014-2019, presiden RI menetapkan Peraturan Presiden
Nomor 54 tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, atau
disebut UKP-PIP. Jangan buruk sangka apakah modus ini sebagai penyelamatan
Pancasila, yang tak langsung berdampak usaha selamatkan diri maisng-masing.
Tentu tidak kawan.
Kewajiban menyelematkan
Pancasila melekat pada tanggung jawab dan wewenang presiden, kepala negara,
kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai petugas partai penguasa atau parpol
juara umum pemilu legislatif 2014.
Basis utama, pondasi dasar
tempat tegaknya Pancasila, secara historis, ada di perikehehidupan rakyat. Daya
ikat horizontal antar komponen, elemen, unsur rakyat menjadikan kokohnya
Pancasila.
Mulai dari wakil rakyat di
tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional, terasa angina semakin
kencang. Angin yang kata pra-ramalan BMKG, terindikasi sebagai angin
anti-Pancasila.
Bangunan kokoh Pancasila, dari
antar pemerintahan, antar periode mengalami pengeroposan, pelapukan dari dalam.
Rayap-rayap politik memang itu kerjanya, tidak layak diperdebatkan.
Biro jasa pengaman dan
keamanan masyarakat sudah tahu apa itu makna konstitusional sampai pasal yang
abu-abu. Artinya, semacam zaman Orde Baru yaitu jika “atas petunjuk bapak
presiden” menjadi harga mati. Menjadi pasal yang tidak dapat diganggu gugat
apalagi dipidanakan. Asas yudicial review hanya akan dicatat oleh petugas
penerima taau atau berkasnya hanya diterima satpam lobi.
Olahkata saya yang memang
ringan-ringan saja, saya tutup dengan mencuplik beberapa alenia dari “DEMOKRASI BERKEBUDAYAAN DAN
BUDAYA BERDEMOKRASI” Oleh: Yudi Latif :
Pertanyaan pun muncul,
apakah Indonesia juga masuk dalam kategori politik zona abu-abu seperti yang
digambarkan Carothers? Pertanyaan tersebut penting diajukan karena setelah
belasan tahun reformasi bergulir, perkembangan demokrasi sebagai prosedur
mengalami perubahan cepat dan massif, tapi demokrasi sebagai substansi seakan
jalan ditempat. Usaha mewujudkan substansi demokrasi, pada kenyataannya
terkendala oleh hambatan-hambatan kultural, institusional dan stuktural.
Pada tingkat kultural, selama
era reformasi, politik sebagai teknik mengalami kemajuan; tetapi politik sebagai
etik mengalami kemunduran. Perangkat keras--prosedur demokasinya terlihat
relatif lebih demokratis; namun perangkat lunak--budaya demokrasiya masih tetap
nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh meritoktasi
(pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan sebaliknya cenderung diikuti
mediokrasi (pemerintahan orang sedang-sedang saja).
Pada tingkat institusional,
desain institusi demokrasi terlalu menekankanpada kekuatan alokatif (sumber
dana), ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia); politik padat modal
membuat biaya kekuasaan tinggi, mengakibatkan high cost economy;
merebakkan korupsi; demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru
memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme
dan civic nationalism justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme
(putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan
dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan
dan ketidakberdayaan rakyat.
Pada tingkat struktural,
kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa
menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial ekonomi masyakat
Indonesia, justru dapat melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi
terdapat postulat, seperti diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa semakin
setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang
demokrasi. Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan
oligarkhi atau tirani. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan
kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar
ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Ketidakpercayaan rakyat pada
politik timbul manakala partai dan para pemimpin politik tak mampu menjawab
masalah-masalah kolektif. Masalah-masalah kolektif ini justru timbul ketika
institusi-institusi yang semula didesain untuk memperjuangkan
kepentingan-kepentingan kolektif terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan
motif-motif perseorangan. Bahkan partai politik yang dasar mengadanya
diorientasikan sebagai interface, untuk menyatukan aspirasi-aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif dalam
mempengaruhi kebijakan negara, sebagian besar justru dikuasai oleh orang per
orang (pemodal besar atau dinasti). Akibatnya tidak ada sandaran untuk
memperjuangkan kepentingan kolektif.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar