Halaman

Minggu, 18 Juni 2017

NKRI tabung reaksi ideologi oplosan, rakitan, kanibal kualitas impor



NKRI tabung reaksi ideologi oplosan, rakitan, kanibal kualitas impor

Di paruh periode akhir 2014-2019, presiden RI menetapkan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila, atau disebut UKP-PIP. Jangan buruk sangka apakah modus ini sebagai penyelamatan Pancasila, yang tak langsung berdampak usaha selamatkan diri maisng-masing. Tentu tidak kawan.

Kewajiban menyelematkan Pancasila melekat pada tanggung jawab dan wewenang presiden, kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai petugas partai penguasa atau parpol juara umum pemilu legislatif 2014.

Basis utama, pondasi dasar tempat tegaknya Pancasila, secara historis, ada di perikehehidupan rakyat. Daya ikat horizontal antar komponen, elemen, unsur rakyat menjadikan kokohnya Pancasila.

Mulai dari wakil rakyat di tingkat kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional, terasa angina semakin kencang. Angin yang kata pra-ramalan BMKG, terindikasi sebagai angin anti-Pancasila.

Bangunan kokoh Pancasila, dari antar pemerintahan, antar periode mengalami pengeroposan, pelapukan dari dalam. Rayap-rayap politik memang itu kerjanya, tidak layak diperdebatkan.

Biro jasa pengaman dan keamanan masyarakat sudah tahu apa itu makna konstitusional sampai pasal yang abu-abu. Artinya, semacam zaman Orde Baru yaitu jika “atas petunjuk bapak presiden” menjadi harga mati. Menjadi pasal yang tidak dapat diganggu gugat apalagi dipidanakan. Asas yudicial review hanya akan dicatat oleh petugas penerima taau atau berkasnya hanya diterima satpam lobi.

Olahkata saya yang memang ringan-ringan saja, saya tutup dengan mencuplik beberapa alenia dari “DEMOKRASI BERKEBUDAYAAN DAN BUDAYA BERDEMOKRASI” Oleh: Yudi Latif :

Pertanyaan pun muncul, apakah Indonesia juga masuk dalam kategori politik zona abu-abu seperti yang digambarkan Carothers? Pertanyaan tersebut penting diajukan karena setelah belasan tahun reformasi bergulir, perkembangan demokrasi sebagai prosedur mengalami perubahan cepat dan massif, tapi demokrasi sebagai substansi seakan jalan ditempat. Usaha mewujudkan substansi demokrasi, pada kenyataannya terkendala oleh hambatan-hambatan kultural, institusional dan stuktural.

Pada tingkat kultural, selama era reformasi, politik sebagai teknik mengalami kemajuan; tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras--prosedur demokasinya terlihat relatif lebih demokratis; namun perangkat lunak--budaya demokrasiya masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh meritoktasi (pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan sebaliknya cenderung diikuti mediokrasi (pemerintahan orang sedang-sedang saja).

Pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankanpada kekuatan alokatif (sumber dana), ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia); politik padat modal membuat biaya kekuasaan tinggi, mengakibatkan high cost economy; merebakkan korupsi; demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan civic nationalism justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan dan ketidakberdayaan rakyat.

Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial ekonomi masyakat Indonesia, justru dapat melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat, seperti diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi. Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan oligarkhi atau tirani. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.

Ketidakpercayaan rakyat pada politik timbul manakala partai dan para pemimpin politik tak mampu menjawab masalah-masalah kolektif. Masalah-masalah kolektif ini justru timbul ketika institusi-institusi yang semula didesain untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kolektif terdistorsikan oleh kepentingan memperjuangkan motif-motif perseorangan. Bahkan partai politik yang dasar mengadanya diorientasikan sebagai interface, untuk menyatukan aspirasi-aspirasi individual menjadi aspirasi kolektif dalam mempengaruhi kebijakan negara, sebagian besar justru dikuasai oleh orang per orang (pemodal besar atau dinasti). Akibatnya tidak ada sandaran untuk memperjuangkan kepentingan kolektif.

 [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar