Halaman

Sabtu, 10 Juni 2017

Indonesia belum terlambat ber-Pancasila



Indonesia belum terlambat ber-Pancasila

Catatan sejarah bahkan saksi atas lahirnya Pancasila, meneguhkan bahwa sila-silanya memang merupakan kenyataan dasar hidup di bumi Nusantara. Waktu diformulasikan memang tidak mudah, gampang dan apalagi lancar.

Keistimewaan Pancasila yang bisa menembus batas ruang, waktu, jarak yang menjadikan bagai dua sisi. Sisi pertama menyuratkan, menyiratkan kandungan sila-silanya. Sisi yang lain, mensinyalir, mengendus atau semacam penerawangan sekaligus mengantisipasi, langkah proaktif terhadap fakta yang bertolak belakang dengan makna tiap sila dan keterakitan antar sila, yang akan terjadi dan seolah memang seperti kehendak sejarah.

Mungkin, mental sebagai bangsa yang terjajah dari generasi ke generasi, bukannya tidak berdampak. Efek dominonya akan terus mengalir mengikuti perkembangan jiwa raga dari generasi demi generasi. Artinya, bahkan sampai generasi éra mégatéga, mégakasus, mégakonflik maka semakin membuktikan diri bahwa nuansa “atas nama rakyat” telah berbalik 180 derajat.  

Pejabat publik dengan pongah telah mencabik-cabik Pancasila. Mereka merasa Pancasila sudah tidak bisa mengakomodir permintaan pasar dunia. Dianggap uzur, ketinggalan langkah jauh. Pihak yang diberi wewenang menjadi pagar rakyat, masyarakat, penduduk, warga negara malah doyan kursi, tahu betul apa itu nikmat dunia.

Pusaran angin politik papan atas secara sistematis mau menganulir eksistensi Pancasila. Memang politik identik dengan kekuasaan. Pelaku politik tak ubahnya dengan serigala politik, yang pemakan, pemangsa segala. Persaingan antar penyuka aliran politik praktis, politik sesaat maupun politik sesat, karena merasa kurang digdaya, minim kesaktian, paceklik aji dan jimat kebal hukum, terpaksa tidak hanya berguru ke sampai negeri China. Malah memboyong jagoan, jawara dari China daratan untuk membuka cabang di NKRI.

Rakyat yang dalam kesehariannya memang mempraktikkan Pancasila tanpa sadar, tanpa diminta karena memang sudah jiwa raganya, mendarah daging. Kendati harga cabai, bawang sampai daging sapi tak terjangkau oleh karena tipisnya dompet, tetap tabah. Mencari solusi atau alternatif lain dari lingkungan untuk memenuhi asas sehat lahir batin.

Jangan heran jika asupan gizi, asupan indera atau masukan lain yang serba asing menjadikan mereka merasa asing dengan dirinya sendiri. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar