Indonesia
belum terlambat ber-Pancasila
Catatan sejarah bahkan saksi atas
lahirnya Pancasila, meneguhkan bahwa sila-silanya memang merupakan kenyataan
dasar hidup di bumi Nusantara. Waktu diformulasikan memang tidak mudah, gampang
dan apalagi lancar.
Keistimewaan Pancasila yang bisa
menembus batas ruang, waktu, jarak yang menjadikan bagai dua sisi. Sisi pertama
menyuratkan, menyiratkan kandungan sila-silanya. Sisi yang lain, mensinyalir,
mengendus atau semacam penerawangan sekaligus mengantisipasi, langkah proaktif
terhadap fakta yang bertolak belakang dengan makna tiap sila dan keterakitan
antar sila, yang akan terjadi dan seolah memang seperti kehendak sejarah.
Mungkin, mental sebagai bangsa yang
terjajah dari generasi ke generasi, bukannya tidak berdampak. Efek dominonya
akan terus mengalir mengikuti perkembangan jiwa raga dari generasi demi
generasi. Artinya, bahkan sampai generasi éra mégatéga, mégakasus, mégakonflik
maka semakin membuktikan diri bahwa nuansa “atas nama rakyat” telah berbalik
180 derajat.
Pejabat publik dengan pongah
telah mencabik-cabik Pancasila. Mereka merasa Pancasila sudah tidak bisa
mengakomodir permintaan pasar dunia. Dianggap uzur, ketinggalan langkah jauh. Pihak
yang diberi wewenang menjadi pagar rakyat, masyarakat, penduduk, warga negara
malah doyan kursi, tahu betul apa itu nikmat dunia.
Pusaran angin politik papan atas
secara sistematis mau menganulir eksistensi Pancasila. Memang politik identik dengan
kekuasaan. Pelaku politik tak ubahnya dengan serigala politik, yang pemakan,
pemangsa segala. Persaingan antar penyuka aliran politik praktis, politik
sesaat maupun politik sesat, karena merasa kurang digdaya, minim kesaktian,
paceklik aji dan jimat kebal hukum, terpaksa tidak hanya berguru ke sampai negeri
China. Malah memboyong jagoan, jawara dari China daratan untuk membuka cabang
di NKRI.
Rakyat yang dalam kesehariannya
memang mempraktikkan Pancasila tanpa sadar, tanpa diminta karena memang sudah
jiwa raganya, mendarah daging. Kendati harga cabai, bawang sampai daging sapi
tak terjangkau oleh karena tipisnya dompet, tetap tabah. Mencari solusi atau alternatif
lain dari lingkungan untuk memenuhi asas sehat lahir batin.
Jangan heran jika asupan gizi,
asupan indera atau masukan lain yang serba asing menjadikan mereka merasa asing
dengan dirinya sendiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar