menunggu
wangsit demokrasi abal-abal atau demokrasi jadi-jadian
Perjalanan anak bangsa
Indonesia, dibilang sejahtera hanya diwakili oleh beberapa gelintir manusia. Disebut
masih sebagai masyarakat sebuah negara yang sedang akan berkembang, menjadi hak milik segelontor
rakyat Nusantara.
Rayuan pulau kelapa
menjadikan diri kita penuh dengan harap, asa dan keajaiban atau dewi
keberuntungan akan tiba dan berpihak serta memilihnya.
Di dalam rumah tangga,
keluarga acap terjadi tidak seia-sekata. Tidak ada kesepakatan tertulis dan
juga asas berkeluarga masih menjadi konsep abadi. Salah kaprah dalam
memanfaatkan kemanfaatan teknologi yang katanya mampu mendekatkan jarak, waktu
dan ruang berdampak menjauhkan antar anggota keluarga.
Tongkat komando yang
digenggam penguasa menjadi alat serba guna. Salah prosedur malah menjadi
bumerang, senjata makan tuan yang apes kena OTT-KPK.
Demokrasi yang ada di
Nusantara memang tidak bisa distandarisir. Sesuai dengan kecerdasan lokal. Harga
bisa pasang surut, fluktuatif tergantung permainan pasar. Di tingkat regional,
kelompok masyarakat menengah ke atas punya selera dan daya beli, yang mau tak
mau akan menentukan kebijakan pemerintah.
Nilai tukar peternak ideologi
lokal mampu memporakperandakan kestabilan dan kematangan cara pikir kawanan
parpolis. Mereka sangka jika sudah jadi ketua umum sebuah partai politik maka
selangkah lagi di pilpres akan jadi presiden, kepala negara, kepala
pemerintahan. Malah yang terbukti, dinasti politik menjadikan demokrasi seperti
hidup di rimba. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar