Halaman

Sabtu, 24 Juni 2017

menunggu wangsit demokrasi abal-abal atau demokrasi jadi-jadian



menunggu wangsit demokrasi abal-abal atau demokrasi jadi-jadian

Perjalanan anak bangsa Indonesia, dibilang sejahtera hanya diwakili oleh beberapa gelintir manusia. Disebut masih sebagai masyarakat sebuah negara yang sedang akan  berkembang, menjadi hak milik segelontor rakyat Nusantara.

Rayuan pulau kelapa menjadikan diri kita penuh dengan harap, asa dan keajaiban atau dewi keberuntungan akan tiba dan berpihak serta memilihnya.

Di dalam rumah tangga, keluarga acap terjadi tidak seia-sekata. Tidak ada kesepakatan tertulis dan juga asas berkeluarga masih menjadi konsep abadi. Salah kaprah dalam memanfaatkan kemanfaatan teknologi yang katanya mampu mendekatkan jarak, waktu dan ruang berdampak menjauhkan antar anggota keluarga.

Tongkat komando yang digenggam penguasa menjadi alat serba guna. Salah prosedur malah menjadi bumerang, senjata makan tuan yang apes kena OTT-KPK.

Demokrasi yang ada di Nusantara memang tidak bisa distandarisir. Sesuai dengan kecerdasan lokal. Harga bisa pasang surut, fluktuatif tergantung permainan pasar. Di tingkat regional, kelompok masyarakat menengah ke atas punya selera dan daya beli, yang mau tak mau akan menentukan kebijakan pemerintah.

Nilai tukar peternak ideologi lokal mampu memporakperandakan kestabilan dan kematangan cara pikir kawanan parpolis. Mereka sangka jika sudah jadi ketua umum sebuah partai politik maka selangkah lagi di pilpres akan jadi presiden, kepala negara, kepala pemerintahan. Malah yang terbukti, dinasti politik menjadikan demokrasi seperti hidup di rimba. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar