menanti bom waktu atau bom bunuh diri 2019
Grafik kehidupan berbangsa, bernegara termasuk bermasyarakat tidak sekedar
mengalami pasang surut secara alami, tetapi seolah dalam kendali kekuatan dari
luar diri. Bukan sekedar kendali, kita sudah terkondisikan menjalankan skenario
pihak tertentu, pihak asing.
Perjalanan sejarah bangsa yang merupakan pelengkap atau bagian sejarah
peradaban dunia, selalu terulang kisah dan kita terjebak antara fakta “air
beriak tanda tak dalam” dengan realita “air tenang menghanyutkan”.
Selama ini kita asyik dengan hukum manusia. Merasa akal kita akan mampu
mengagendakan masa depan. Merasa nasib di tangan sendiri, memang benar. Yang tidak
benar bahwa kita merasa asal diawali dengan niat bulat, sudah setengah jalan. Juga
tidak salah. Yang salah karena tidak disertai rencana tindak dan persiapan
awal. Itupun juga tidak seratus persen benar atau betul.
Sejak awal tarikan nafas, kita tidak menghadirkan Allah dalam urusan hidup
di dunia. Merasa nyaman dalam barisan yang siap siaga, menjadikan pemerintah
merasa di atas angin. Angin surge, bayu nirwana 2019 sudah menyamankan segala
olah pikir, segenap pola tindak dan semua gaya ucap dan cuap sang penguasa.
Alam pun sepertinya adem ayem. Memberi kesempatan kepada penghuni bumi
untuk mawas diri. Bukannya seperti membiarkan, biarkan sampai nantinya buah
yang matang akan gugur dengan sendirinya. Alam sudah memberikan sinyal,
pertanda dengan setia tanpa diminta, bahkan sudah rajin membunyikan tanda
bahaya.
Satu langkah lagi, ketergantungan manusia pada asupan oksigen dari alam,
yang gratis, justru membuat pemerintah membutuhkan bantuan nafas buatan. Polusi
ideologi sudah melebih ambang batas aman.
In sya Allah dengan berkah Ramadhan, NKRI bisa terbebas dari malapetaka,
bencana sesunguhnya yang sudah siaga di depan mata dan hidung sendiri. Asal jangan
sampai pemerintah atau penguasa salah melangkah, keliru memilih arah, atau
jangan sampai coba-coba bermain api dengan rakyat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar