Halaman

Senin, 02 April 2018

watak koruptif penyelenggara negara = radikalisasi ideologi + teorisasi Pancasila + kibulisasi rakyat . . .


watak koruptif penyelenggara negara = radikalisasi ideologi + teorisasi Pancasila + kibulisasi rakyat . . .

Kesimpulan sederhana secara nasional. Jika ternyata nyatanya masih ada oknum penyelenggara negara atau padanan sebutan lainnya, terjegal pasal tindak pidana korupsi (tipikor) buikan masuk kategori musuh negara.

Bahasa hukum, bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Misteri nyali pelaku tipikor, dipastikan di atas rata-rata penjahat yang pernah ada di Nusantara. Tanpa kekerasan fisik. Soal intimidasi, pengadilan yang menguaknya. Seberapa kecil kerugian negara yang ditimbulkannya, soal pengadilan juga.

Akankah, cikal bakal atau calon tipkor yang apes terkena OTT KPK, hanya bak puncak gunung. Regenerasi atau semakin canggihnya modus korup, jelas bukan soal anak kecil.

Semakin merasa kuat, kuasa maka obyek jarahan menjadi semakin menggila. Artinya, semakin tinggi kekuasaan, kekuatan berbanding lurus dengan jangkauan korup. Bicara korup, otomatis terkait dengan kolusi, koalisi, nepotisme, politik transaksional.

Ada eloknya kita sidak pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, . . . . . “

Bingung. Ternyata mau korup, tidak sekedar niat. Harus punya ilmu. Semua ilmu di dunia kejahatan – selain kejahatan politik – wajib diketahui. Minimal menguasai ilmu kebal hukum.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar