watak koruptif
penyelenggara negara = radikalisasi ideologi + teorisasi Pancasila + kibulisasi
rakyat . . .
Kesimpulan sederhana secara nasional. Jika ternyata nyatanya masih ada oknum
penyelenggara negara atau padanan sebutan lainnya, terjegal pasal tindak pidana
korupsi (tipikor) buikan masuk kategori musuh negara.
Bahasa hukum, bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini sangat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pertumbuhan
dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi, sehingga
harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Misteri nyali pelaku
tipikor, dipastikan di atas rata-rata penjahat yang pernah ada di Nusantara. Tanpa
kekerasan fisik. Soal intimidasi, pengadilan yang menguaknya. Seberapa kecil
kerugian negara yang ditimbulkannya, soal pengadilan juga.
Akankah, cikal bakal
atau calon tipkor yang apes terkena OTT KPK, hanya bak puncak gunung. Regenerasi
atau semakin canggihnya modus korup, jelas bukan soal anak kecil.
Semakin merasa kuat,
kuasa maka obyek jarahan menjadi semakin menggila. Artinya, semakin tinggi
kekuasaan, kekuatan berbanding lurus dengan jangkauan korup. Bicara korup,
otomatis terkait dengan kolusi, koalisi, nepotisme, politik transaksional.
Ada eloknya kita sidak
pasal 2 ayat (1) UU 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, . . . . . “
Bingung. Ternyata mau korup, tidak sekedar niat. Harus punya ilmu. Semua ilmu
di dunia kejahatan – selain kejahatan politik – wajib diketahui. Minimal menguasai
ilmu kebal hukum. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar