Indonesia darurat
politik akibat infeksi cacing
Di Indonesia, lebih dari 67 juta
anak membutuhkan pengobatan pencegahan penyakit cacing.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ((P2PL) Kementerian
Kesehatan (kemenkes), prevalensi cacingan di Indonesia mencapai 28,12 persen.
Namun, angka ini kurang menggambarkan kondisi sebenarnya karena di banyak
daerah tingkat prevalensi cacingan berada di atas 50 persen.
Penyebab cacingan berbeda-beda
tergantung jenis cacing yang menginfeksi tubuh pasien. Beberapa jenis cacing
yang paling umum menyebabkan cacingan pada manusia, yaitu cacing tambang,
cacing gelang dan cacing cambuk.
Dalam beberapa kasus, infeksi cacing
dapat menyebabkan kematian anak. Ini terjadi karena sudah terlalu banyak cacing
di dalam tubuhnya sehingga parasit itu menjelajah ke organ tubuh yang lain,
seperti paru dan lainnya. (cuplikan dari Republika, Selasa, 24 April 2018).
Pemerintah membemtuk tim sukses “Sadar
Cacing” untuk semua pihak yang berkepentingan. Termasuk tukang obat, ahli farmasi, maupun peraciak ramuan asli
tanah air. Dikisahkan oleh yang empunya karangan bak dagelan politik. Dibagi menjadi
dua lokasi kejadian perkara.
KEJADIAN PERKARA PERTAMA
Di sebuah SD berlokasi di kabupaten terpencil, di pulau kecil,
terluar Nusantara. Sedang terjadi sosialisasi
hidup sehat tanpa cacing. Temanya “aku anak Indoensia, sehat tanpa cacing”.
Di meja peraga, terdapat dua gelas
kaca bening. Beda isinya. Yang satu diisi air mineral atau air sumur timba.
Sisanya, diisi miras oplosan produk lokal.
Tampak wibawa, guru menjelaskan
maksud tujuan uji coba. Anak dididik menyimak. Kumpulan cacing, lepas dari
jenis dan partainya, dimasukkan ke gelas berisi air sumur. Kumpulan cacing yang
sama dicemplunhgkan ke dalam gelas berisi miras oplosan.
Guru, “Lihat apa yang terjadi pada
kawanan cacing di dua gelas.”. murid dengan tekun mengamati percobaan.
Ternyata, kawanan cacing di gelas
berisis air sumur, dengan santai berenang sambil membersihkan badan. Hidup aman,
nyaman dan damai. Sedangkan kawanan cacing yang berkubang di gelas berisi miras
oplosan. Tampak bergaya sebentar. Langsung tari kejang-kejang. Mati di tempat. Sebelum
menempati kursinya.
Ujar guru yang sama, “Dengan fakta
ini, apa yang bisa ambil sebagai pelajaran”.
Nyaris tanpa komando, para anak
didik seperti menjawab kompak, “Kalau agar tak cacingan, kita harus minum miras
oplosan. Cacing bisa tewas.”
KEJADIAN PERKARA KEDUA
Di lian kesempatan, pemerintah
merasa mendapat angka dari kejadian perkara pertama. Agar laporan keberhasilan
meyakinkan, cari lokasi lain. Tema tetap seputar”cacing”.
Lokasi pilihan di sebuah SD di kota
yang dianggap ‘kota cerdas’. Temanya adalah uji pengetahuan anak tentang bahaya
cacing bagi kesehatan.
Di meja peraga, di halaman sekolah. Pasang
tenda dan bendera partai cacing. Anak didik berkerumun mengelilingi meja
peraga. Tangan siap dengan HP untuk merekam kejadian.
Di meja, pihak berwajib meletakkan 2
(dua) kaleng isi lauk daging atau ikan. Pokoknya produk asing. Bisa dijumpai di
kantin sekolah.
Sedikir basa-basi, kepala sekolah
membacakan sambutan kepala daerah yang mewaklili kepala negara.
Suasana hening bin senyap. Kepala sekolah
alat pembuka tutup. Kebetulan dipilih kaleng yang memang tidak melekatkan alat
bukanya. Materi paparan sekitar makn sehat dengan lauk sehat. Dengan asumsi
lauk di kaleng, bisa langsung disantap. Tak perlu dipanasi.
Ketika kaleng pertama dibuka,
langsung anak didik bertepuk tangan. Karena isi kaleng masih beraroma irama
mengundang nafsu makan. Giliran kaleng kedua dibuka. Wajah guru tampak kecut. Ternyata
isi kaleng, daging/ikan bercampur cacing. Entak cacing merk apa. Skenario sosialisasi
jadi berbah total. Tapi anak didik tetap mengambil foto sambil swafoto.
Tak kurang akal, guru bertanya
dengan penuh wibawa, “Kalau anak-anak makan, pilih lauk kaleng yang pertama
atau kaleng kedua yang mengandung cacing?”.
Nyaris tanpa komando, para anak
didik menjawab kompak, asal bunyi dan teriak nyaring “Pilih lauk kaleng yang
ada cacingnya, Karena cacing makanan bergizi”.
SARAN SUMBANG
Jangan khayalkan, betapa nantinya
anak Indonesia yang 67 juta, nantinya setelah punya hak pilih. Akan pilih siapa
gerangan. Dari partai apa. Jangan-jangan akan muncul partai anak cacingan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar