antara puisi dan pria
tulang lunak
Serba kebetulan. Atau kesempatan
berpeluang cuma sekali.. Saat itu, diminta melengkapi buku kenangan diklatpim. Agar
tampak beda, sumbang puisi.
Peserta yang menyimak atau ngecek
foto diri dan komen kilas balik, terpaksa melihat puisi dua halaman. Timbul aneka
komen.
Wong teknik koq nulis puisi.
Komen juga secara teknis. Ini bahasa
tayangan dengan model super impos, dengan pola layer. Ditumpuk. Tarik simpul
tergantung imajinasi ybs.
Teman mengira kalau puisi itu mesti
puitis. Mendayu-dayu. Melankolis. Meratap penuh harap tanpa menatap.
Teman heran, kalimatnya bukan
kalimat puisi seperti yang mereka duga. Ini laporan subtansi dengan gaya
atraktif. Biar dikira padat kata. Atau menguasai masalah.
Teman yang komen dalam hati, modal
manggut-manggut. Tanda dong. Jelas bukan model daya dong rendah. Apresiasinya tampak di
guratan wajah, yang sok seruis. Biar dikira sedang terlena di alam pikiran.
Teman lainnya, malah suka mendengar
bincang membahas nasib puisi. Merasa terwakili. Celetuknya, puisi seperti foto.
Kalau foto bisa multitafsir. Puisi ini sarat fakta.
Asyik komen, karena peserta lintas
K/L/D/I. Peserta daerah berujar, isi puisi sepertinya standar. Masalah kebahasaan.
Sebagai ajang pelampiasan anak baru jatuh cinta. Saat itu media sosial belum
lahir.
Pihak yang “asing dan aneh” dengan
puisi. Sepertinya tergugah. Minimal terpaksa ikut baca sambil tunggu acara
penutupan. Namanya buku kenangan. Bisa dibawa pulang. Memang untuk kenangan.
Ada sepuluh tahun kemudian, saat
bertandang ke suatu kabupaten di luar Jawa. Berjumpalah dengan kawan senasib di
diklatpim. Sudah promo. Karena gender, dapat kepercayaan dari bupati. Ybs masih
ingat dengan puisi lama yang membingungkan, katanya. Tetapi tetap enak dilihat.
Zaman facebook, banyak anak bangsa
berkomen bak memang lidah tak bertulang. Gaya gemulai seperti daya dong rendah. Penuh gaya dan daya
sesuai asas penurunan daya ingatan dan pendapatan secara permanen. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar