Modus Terstruktur
Penistaan Agama
Wajar jika ada pihak maupun oknum
di bumi Pancasila ini yang sesuai rumusan, semakin jauh dari rakyat akan
berbanding lurus dengan terdegradasinya sila-sila Pancasila. Di sisi lain,
marak tumbuh kembangnya partai politik yang asumsinya hanya sekedar merebut
kekuasaan secara konstitusional.
Lowongan lapangan kerja semakin
bertingkat, berlapis dan penuh persaingan tak kenal kompromi. Bagi penggila nikmat
dunia, ibarat nasi di piring belum habis disantap sudah melirik menu lainnya. Semakin
berkuasa, seolah apa saja ingin diraihnya.
Masih ingatkah dengan SE Kapolri
Nomor : SE/6/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate
speech). SE ini tentu berdasarkan pertimbangan kemungkinan besar yang akan
terjadi. Kita tidak tahu apakah yang akan dilakukan Polri bersifat prévéntif atau
yang bersifat réprésif.
Sejarah membuktikan ujaran
kebencian dalam paket penistaan agama oleh gubernur DKI aktif 2012-2017, memang
agaknya sudah disinyalir atau diantisipasi oleh Polri. Bukti sederhana lainnya,
akhir sang terdakwa masih aman di Rumah tahanan (rutan) Mako Brimob, (berita
lengkap di Republika, Senin, 2 April 2018)
Olahan berbasis ujaran kebencian
semakin menjadi-jadi. Antara lain puisi karya Sukmawati. Lanjut oleh ujaran
pengamat politik Rocky Gerung yang sebut kitab suci adalah fiksi.
Tindakan dan langkah hukum apa
yang akan diambil oleh Polri, masyarakat awam sudah bisa dan dengan mudah
menebaknya. Meningkat, apa saja gaya aparat penegak hukum lainnya, dipastikan
tak jauh-jauh dari pasal bahwa hukum tergantung kepada siapa yang bermasalah. Bukan
pasal apa yang dilanggar. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar