Halaman

Selasa, 17 April 2018

generasi gojag-gajeg semangkin keblusuk


generasi gojag-gajeg semangkin keblusuk

Bukan kehendak sejarah. Bukan salah bunda mengandung. Bukan salah asah, asih, asuh. Bukan salah asupan gizi dan nutrisi ketika masih dalam kandungan. Bukan cacat ideologi bawaan. Bukan kebijakan yang kurang bijak.

Kondisi yang mirip dengan faktor penyebab adalah tidak adanya tokoh panutan secara politis. Kepercayaan rakyat sudah sampai ambang bawah.

Wajar, muncul generasi yang dengan sengaja memperkeruh suasana. Sekalian jadi sama-sama kacau. Daripada berharap tanpa kejelasan. Ibarat burung pengguk merindukan bulan.

Sosok atau tokoh formal, semakin menjadikan rakyat muak, mual, mules. Janji politik tidak bisa dipidana. Karena hanya sebatas pemanis bibir, pemerah bibir. Begitu sudah duduk di kursi kekuasaan, lain cerita.

Praktik serakah politik sudah melebihi ketersediaan. Memang sudah dilakukan impor ideologi sejak menu Nasakom.

Secara historis, kearifan lokal (local wisdom, local knowledge, local genius) yang mengusung jati diri sila-sila Pancasila.

Agar tidak bosan. Kita pahami wulang rasa yang dimiliki oleh etnik Jawa. Pemahaman akan konsep “narima” utawa “krida lumahing asta”; “aja dumeh”, “aja gumunan”, “aja kagetan; plus “eling lan waspada”, yang hanya bisa dipahami oleh etnik Jawa.

Karena kearifan lokasl kalah bersaing dengan budaya impor, namun sejatinya masyarakat etnik Jawa masih menjunjung tinggi.

Seperti, tersurat maupun tersirat di alenia pertama. Akhirnya, yaitu malah berlaku keras semboyan “sama-sama kalah, sama-sama menang”. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar