generasi gojag-gajeg
semangkin keblusuk
Bukan kehendak sejarah. Bukan salah
bunda mengandung. Bukan salah asah, asih, asuh. Bukan salah asupan gizi dan
nutrisi ketika masih dalam kandungan. Bukan cacat ideologi bawaan. Bukan kebijakan
yang kurang bijak.
Kondisi yang mirip dengan faktor
penyebab adalah tidak adanya tokoh panutan secara politis. Kepercayaan rakyat
sudah sampai ambang bawah.
Wajar, muncul generasi yang dengan
sengaja memperkeruh suasana. Sekalian jadi sama-sama kacau. Daripada berharap
tanpa kejelasan. Ibarat burung pengguk merindukan bulan.
Sosok atau tokoh formal, semakin
menjadikan rakyat muak, mual, mules. Janji politik tidak bisa dipidana. Karena hanya
sebatas pemanis bibir, pemerah bibir. Begitu sudah duduk di kursi kekuasaan,
lain cerita.
Praktik serakah politik sudah
melebihi ketersediaan. Memang sudah dilakukan impor ideologi sejak menu
Nasakom.
Secara historis, kearifan lokal (local
wisdom, local knowledge, local genius) yang mengusung jati diri sila-sila
Pancasila.
Agar tidak bosan. Kita pahami wulang rasa yang dimiliki oleh etnik
Jawa. Pemahaman akan konsep “narima” utawa “krida lumahing asta”; “aja dumeh”, “aja
gumunan”, “aja kagetan; plus “eling lan waspada”, yang hanya bisa dipahami oleh
etnik Jawa.
Karena kearifan lokasl kalah
bersaing dengan budaya impor, namun sejatinya masyarakat etnik Jawa masih
menjunjung tinggi.
Seperti, tersurat maupun tersirat di
alenia pertama. Akhirnya, yaitu malah berlaku keras semboyan “sama-sama kalah,
sama-sama menang”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar