Mengalah atau
Kirim Atlit Klas II
Indonesia sedang besar hidung,
karena jadi tuan rumah pesta olahraga tingkat Asia. Sebagai tuan rumah berharap
banyak dengan perolehan medali. Main di kandang sendiri, dengan dukungan
penonoton yang mayoritas bangsa dhèwèk.
Berbarengan dengan tahun politik
2018. Pasti ada maunya. Ada konspirasi yang tetap menjunjung tinggi
sportivitas. Moto olahraga yaitu yang mendapat mendali terbanyak, akan jadi
juara umum. Belum tentu. Raihan medali emas jadi penentu.
Gelanggang, lapangan, venue atau
sebutan lainnya, memang bukan kotak suara. Namanya politik olahraga vs olahraga
politik, di negara maju yang banyak utang luar negeri, skore atau hasil akhir
bisa diatur.
Masalahnya, tentu ada rasa sungkan,
segan, enggan, éwuh pakéwuh, tepo sliro negara peserta dengan keramahtamahan tuan rumah.
Bisa-bisa bisa terjadi asas sendiko dawuh akan terjadi.
Karena harga diri, martabat, wibawa
negara peserta yang tak kenal kompromi. Olahraga tetap olahraga. Politik tetap
politik. Mau mengandalkan pasal wani piro. Duwité mbahmu.
Pasca pesta olahraga, bagaimana
nasib fasilitas yang sudah dibangun. Bukan urusan rakyat. Atlit tuan rumah akan
dapat bonus sesuai perolehan medali. Juga bukan konsumsi rakyat untuk
mengolahnya. Semua sudah ada aturan main.
Yang masih bisa dilakukan rakyat,
cukup berdoa dan mendoakan agar pesta sukses. Peserta asing pulang dengan rasa puas
berlipat. Bisa untuk bahan cerita ke anak cucu. Khususnya sikap ramah, rendah
hati, sopan tindak tuan rumah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar