suksesi politik pangan, sertifikasi lahan+traktor tangan+ . . .
Di
atas kertas, kesebelasan klas dunia memang berbentuk klub sepak bola. Saat
ajang laga bola dunia, bisa terjadi pesepak bola bermain untuk negaranya akan
menghadapi teman satu tim.
Peta
karir pesepak bola sepertinya sudah standar universal. Kasarnya, orang bisa
hidup - bahkan di atas rata-rata nasional negaranya – dari keahlian menggocek
bola, memasukkan bola ke gawang lawan. Karir bisa meredup sejalan dengan laju
usia, Namun yang namanya rezeki, tak ada istilah pensiun dari si kulit bundar.
Bisa berubah menjadi apa saja, di mana saja, kapan saja.
Tak
sedikit nama besar suatu negara identik dengan sepak bola. Bahkan sejarah
bangsa dan negara diwarnai dengan sejarah sepak bola. Pembangunan nasional
digerakkan oleh kepedulian negara atas prestasi tim, klub atau pesepakbolanya.
Di jalanan, di tanah terbuka, menunjukkan
demam bola.
Gila
bola juga menjangkiti generasi Indonesia. Jersey menjadi kaos favorit, apalagi
nomor punggung dan pesohor bola. Anak Indonesia sepertinya hafal nama tim dan
pemain adalannya.
Sepak
bola sepertinya tak ada surutnya. Walau alam membibit, mengkader pesepak bola.
Tak akan kehabisan stok. Tinggal proses penggosokan selanjutnya.
Kembali
ke prestasi sepakbola tanah air. Rakyat mengira
kalau inisial “P” di tubuh PSSI adalah Partai. Tapi ingat bahasa
pasang-surut. Nyatanya dengan SS, seolah pratanda banyak surut dan surutnya. Tak
salah kalau PSSI tidak sekedar tergantung kebijakan (politik) pemerintah. Malah
secara langsung partai mengendalikan, walau kasus.
Apa
hubungannya pesepakbola dengan ketahanan pangan dan atau kemandirian pangan. Petani
Nusantara, pada umunya merupakan warisan keluarga. Anak cucu petani.
Petani
memang tidak bermain di lapangan hijau. Lebih dari itu. Mengolah tanah dengan
modal tenaga, ayunan cangkul. Modal naik, punya kerbau si pembajak sawah. Dukungan
pemerintah, dengan traktor tangan bantuan presiden. Ditambah kebijakan
pemerintah yang menambah kepemilikan luas lahan tani.
Asas
P4T alias penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah.
Petani
sejahtera sebagai indikator utama, pokok keberhasilan swadaya pangan. Soal masih
terjadi praktik impor pangan, itu masalah etika perdagangan dunia. Posisi dan nilai tawar
Indoesia selalu mudah ditawar sampai ambang bawah.
Nasib
tani sudah menjadi obyek/subyek serikat pekerja tani, asosiasi tani, ormas tani,
kelompok sadar tani sampai kementan. Termasuk ada hari tani nasional. Kurang apa
lagi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar