Halaman

Minggu, 15 April 2018

suksesi politik pangan, sertifikasi lahan+traktor tangan+ . . .


suksesi politik pangan, sertifikasi lahan+traktor tangan+ . . .

Di atas kertas, kesebelasan klas dunia memang berbentuk klub sepak bola. Saat ajang laga bola dunia, bisa terjadi pesepak bola bermain untuk negaranya akan menghadapi teman satu tim.

Peta karir pesepak bola sepertinya sudah standar universal. Kasarnya, orang bisa hidup - bahkan di atas rata-rata nasional negaranya – dari keahlian menggocek bola, memasukkan bola ke gawang lawan. Karir bisa meredup sejalan dengan laju usia, Namun yang namanya rezeki, tak ada istilah pensiun dari si kulit bundar. Bisa berubah menjadi apa saja, di mana saja, kapan saja.

Tak sedikit nama besar suatu negara identik dengan sepak bola. Bahkan sejarah bangsa dan negara diwarnai dengan sejarah sepak bola. Pembangunan nasional digerakkan oleh kepedulian negara atas prestasi tim, klub atau pesepakbolanya.

 Di jalanan, di tanah terbuka, menunjukkan demam bola.

Gila bola juga menjangkiti generasi Indonesia. Jersey menjadi kaos favorit, apalagi nomor punggung dan pesohor bola. Anak Indonesia sepertinya hafal nama tim dan pemain adalannya.

Sepak bola sepertinya tak ada surutnya. Walau alam membibit, mengkader pesepak bola. Tak akan kehabisan stok. Tinggal proses penggosokan selanjutnya.

Kembali ke prestasi sepakbola tanah air. Rakyat mengira  kalau inisial “P” di tubuh PSSI adalah Partai. Tapi ingat bahasa pasang-surut. Nyatanya dengan SS, seolah pratanda banyak surut dan surutnya. Tak salah kalau PSSI tidak sekedar tergantung kebijakan (politik) pemerintah. Malah secara langsung partai mengendalikan, walau kasus.

Apa hubungannya pesepakbola dengan ketahanan pangan dan atau kemandirian pangan. Petani Nusantara, pada umunya merupakan warisan keluarga. Anak cucu petani.

Petani memang tidak bermain di lapangan hijau. Lebih dari itu. Mengolah tanah dengan modal tenaga, ayunan cangkul. Modal naik, punya kerbau si pembajak sawah. Dukungan pemerintah, dengan traktor tangan bantuan presiden. Ditambah kebijakan pemerintah yang menambah kepemilikan luas lahan tani.

Asas P4T alias penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah.

Petani sejahtera sebagai indikator utama, pokok keberhasilan swadaya pangan. Soal masih terjadi praktik impor pangan, itu masalah etika perdagangan dunia. Posisi dan nilai tawar Indoesia selalu mudah ditawar sampai ambang bawah.

Nasib tani sudah menjadi obyek/subyek serikat pekerja tani, asosiasi tani, ormas tani, kelompok sadar tani sampai kementan. Termasuk ada hari tani nasional. Kurang apa lagi. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar