menulis sadar risiko lebih sehat daripada duduk mengunyah angan-angan
Karena
dosen kesulitan menulis, maka kenaikan golongan/pangkat menjadi molor. Kurang apa,
bahan kuliah yang seolah sudah hafal di luar kepala, tinggal dituliskan. Mungkin
dosen punya kiat khusus untuk mengungkapkan ilmunya.
Menjadi
penulis memang perlu dukungan ilmu. Contoh, untuk mendaftarkan diri sebagai
jurnalis di sebuah surat kabar, perlu beberapa syarat yang tidak sederhana. Dibilang,
bukan untuk pengangguran atau sekedar iseng atau coba-coba nasib.
Singkat
bicara, ide menulis bisa dari mana saja, kapan saja. Dari hal tak terduga, yang
tampak sepele, kecil. Tapi untuk menjadikan tulisan memang perlu keahlian.
Ada
cerita, pelukis terkenal mendapat order dari yang punya duit. Setiap ditagih
sesuai janji jatuh tempo, lukisan malah belum ada. Karena kesal, sang pemesan
main ancam – bukan intimidasi – serta merta sang pelukis fokus dan konsentrasi menghasilkan
karya yang membuat pemesan terpesona.
Usut
punya usut, ternyata sang pelukis sudah “mengorbankan” puluhan kanvas sebagai
ajang uji coba dengan obyek dimaksud pemesan. Begitu agak “digertak” atau deadline,
sudah masuk klimaks penjiwaannya. Langsung jadi.
Sebagai
penulis indvidu, yang bebas aktif, tak terikat waktu, bukannya lalu bisa
santai. Semakin diolah – tepatnya masuk wilayah angan-angan – semakin penasaran.
Bisa bias dalam arti “judul” dinamis, ditentukan setelah tulisan selesai. Bisa fokus
dalam batasan ada dukungan beberapa sub-judul.
Untuk
menjadikan tulisan layak baca, terkadang tulisan yang sederhana melalui proses
yang tidak sederhana. Bisa cari acuan sejenis. Atau rekaman bahan saat membaca
tinggal diunggah dan dipoles. Tidak ada yang sulit. Risikonya sederhana,
semakin dipendam bikin hati dendam. Kapan dikeluarkan.
Bahkan
dengan menulis satu tema, akan memancing tema atau sub-tema. Alenia terakhir
menjadi bakan baku penulisan berikutnya. Sederhana yang tidak sederhana. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar