Halaman

Senin, 23 April 2018

menyapa generasi "ho oh"


menyapa generasi "ho oh"

Cupilkan dari makalah “KEMANA SOPAN SANTUN DAN TATA KRAMA GENERASI MUDA? STUDI KASUS MENAKAR PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA KITA”, oleh Prembayun Miji Lestari. Universitas Negeri Semarang (UNNES). Email: prembayun@gmail.com. Halaman 5 (lima) :
Seorang dosen bertanya kepada para mahasiswanya, “Materi sosiolinguistik hari ini sampai komponen tutur ya?”

Seketika ada mahasiswa yang menjawab, “Ho oh” dengan intonasi tinggi. Kata “ho oh” merupakan serpihan bahasa Jawa ragam ngoko yang berarti ‘iya’. Jika dilihat dari segi tuturan bahasa, hal itu menunjukkan ketidaksopanan berbahasa mahasiswa kepada dosennya. Sebaiknya kepada yang lebih tua, bahasa yang digunakan adalah bahasa ragam krama, jadi kata “ho oh” bisa diganti dengan kata “inggih”. Selain dari segi pemilihan diksi, yang perlu diperhatikan adalah masalah intonasi. Sebaiknya intonasi suara yang digunakan tidak berintonasi tinggi, karena bisa menimbulkan interpretasi negatif semisal marah, memerintah.

Langsung ke :
III. Penutup
Dari paparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa sopan santun dan tata krama generasi muda mengalami penurunan. Hal tersebut ditandai dengan adanya pola pemakaian bahasa saat berkomunikasi (baik melalui sosial media maupun secara langsung) dan sikap berbahasa yang ditunjukkan generasi muda. Pola pemakaian bahasa yang menunjukkan ketidaksopanan itu ditandai dengan adanya singkatan-singkatan yang tidak lazim, terpengaruh bahasa alay/bahasa gaul dan tidak memperhatikan unggah-ungguh basa. Sikap berbahasa negatif ditandai dengan tidak atau kurang mampu membaca situasi dan kondisi, tidak peduli atau mencerminkan sikap sakkarepé dhéwé dan sakpenaké dhéwé (semaunya sendiri dan seenaknya sendiri).

SIMPUL PENDEK PENULIS
Rasanya bukan salah bunda mengandung. Kendati yang jadi subyek adalah generasi muda etnik Jawa. Makalah disusun berdasarkan hasil studi kasus.

Tidak perlu mengembangkan kasus sekalogus memfokuskan kasus. Jangan dibilang itu tadi kasus di sebuah kampus perguruan tinggi. Mahasisa punya alasan mengapa sampai berhal demikian.

Generasi muda yang berusaha mempraktikkan berbahasa Indonesia yang benar dan baik, masih mengalami berbagai tingkat kesulitan. Entah kalau dalam bentuk tulisan. Jangan-jangan bahasa tutur, bahasa ujaran tinggal ditulis.

Generasi muda tak perlu merasa risau. Karena di dunia nyata, masih ada generasi pasca generasi muda, yang bahasa tulisnya menunjukkan isi perut. Otomatis. Tidak mengalami proses oleh hati, olah rasa. Apa yang terlintas di otak, akal, nalar, logikanya, langsung diomongkan, dibunyikan, dicetuskan, diujarkan atau ditulis dengan ringannya.

Bukan studi kasus. Kita baca kandungan olah kata bahasa tulis di facebook. Pemilihan kata, cara menyusun kalimat, penggunaan singkatan, simbol, tanda baca dan seterusnya. Total kopral, kiat bisa usap dada, tepuk jidat. Ambil nafas panjang. Sambil olah renung dan menung.

Dibilang minat baca rendah. Juga tidak. Justru mereka merasa sudah sarat dengan daya baca. Saking teliti baca, sampai pariwara disisir tuntas. Atau bahasa gaul yang dipakai seperti sudah merasa berklas.

Bahasa politik menjadi dominan, sampai bisa mengendalikan bahasa hukum. Kalahnya manusia politik oleh manusia ekonomi.

Jangan lupa, manusia politik dari berbagai klas masyarakat, berbaur menjadi satu. Melebihi spirit sebagai bonek. Apa itu bonek, memang mirip dengan boneka politik.

Hasilnya, bahasa politik di media sosial menjadi “bahasa kentut yang ditulis”. Dengan aneka tanda baca, simbol, lambang, singkatan. Antara yang modal dengkul, modal otot dengan yang ahli karena kapasitas otak, akal, nalar, logika politik, sami mawon. Sudah dibutakan oleh politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar