menyapa generasi
"ho oh"
Cupilkan dari makalah “KEMANA SOPAN SANTUN DAN TATA KRAMA
GENERASI MUDA? STUDI KASUS MENAKAR PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA KITA”, oleh Prembayun Miji
Lestari. Universitas Negeri Semarang (UNNES). Email: prembayun@gmail.com. Halaman 5 (lima) :
Seorang dosen bertanya kepada para
mahasiswanya, “Materi sosiolinguistik hari ini sampai komponen tutur ya?”
Seketika ada mahasiswa yang
menjawab, “Ho oh” dengan intonasi tinggi. Kata “ho oh” merupakan serpihan
bahasa Jawa ragam ngoko yang berarti ‘iya’. Jika dilihat dari segi tuturan
bahasa, hal itu menunjukkan ketidaksopanan berbahasa mahasiswa kepada dosennya.
Sebaiknya kepada yang lebih tua, bahasa yang digunakan adalah bahasa ragam
krama, jadi kata “ho oh” bisa diganti dengan kata “inggih”. Selain dari segi
pemilihan diksi, yang perlu diperhatikan adalah masalah intonasi. Sebaiknya
intonasi suara yang digunakan tidak berintonasi tinggi, karena bisa menimbulkan
interpretasi negatif semisal marah, memerintah.
Langsung ke :
III. Penutup
Dari paparan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa sopan santun dan tata krama generasi muda mengalami
penurunan. Hal tersebut ditandai dengan adanya pola pemakaian bahasa saat
berkomunikasi (baik melalui sosial media maupun secara langsung) dan sikap
berbahasa yang ditunjukkan generasi muda. Pola pemakaian bahasa yang
menunjukkan ketidaksopanan itu ditandai dengan adanya singkatan-singkatan yang
tidak lazim, terpengaruh bahasa alay/bahasa gaul dan tidak memperhatikan
unggah-ungguh basa. Sikap berbahasa negatif ditandai dengan tidak atau kurang
mampu membaca situasi dan kondisi, tidak peduli atau mencerminkan sikap sakkarepé dhéwé dan sakpenaké dhéwé (semaunya sendiri dan seenaknya
sendiri).
SIMPUL PENDEK PENULIS
Rasanya bukan salah bunda
mengandung. Kendati yang jadi subyek adalah generasi muda etnik Jawa. Makalah
disusun berdasarkan hasil studi kasus.
Tidak perlu mengembangkan kasus
sekalogus memfokuskan kasus. Jangan dibilang itu tadi kasus di sebuah kampus
perguruan tinggi. Mahasisa punya alasan mengapa sampai berhal demikian.
Generasi muda yang berusaha
mempraktikkan berbahasa Indonesia yang benar dan baik, masih mengalami berbagai
tingkat kesulitan. Entah kalau dalam bentuk tulisan. Jangan-jangan bahasa
tutur, bahasa ujaran tinggal ditulis.
Generasi muda tak perlu merasa
risau. Karena di dunia nyata, masih ada generasi pasca generasi muda, yang
bahasa tulisnya menunjukkan isi perut. Otomatis. Tidak mengalami proses oleh
hati, olah rasa. Apa yang terlintas di otak, akal, nalar, logikanya, langsung
diomongkan, dibunyikan, dicetuskan, diujarkan atau ditulis dengan ringannya.
Bukan studi kasus. Kita baca
kandungan olah kata bahasa tulis di facebook. Pemilihan kata, cara menyusun
kalimat, penggunaan singkatan, simbol, tanda baca dan seterusnya. Total kopral,
kiat bisa usap dada, tepuk jidat. Ambil nafas panjang. Sambil olah renung dan
menung.
Dibilang minat baca rendah. Juga tidak.
Justru mereka merasa sudah sarat dengan daya baca. Saking teliti baca, sampai
pariwara disisir tuntas. Atau bahasa gaul yang dipakai seperti sudah merasa
berklas.
Bahasa politik menjadi dominan, sampai
bisa mengendalikan bahasa hukum. Kalahnya manusia politik oleh manusia ekonomi.
Jangan lupa, manusia politik dari berbagai
klas masyarakat, berbaur menjadi satu. Melebihi spirit sebagai bonek. Apa itu
bonek, memang mirip dengan boneka politik.
Hasilnya, bahasa politik di media
sosial menjadi “bahasa kentut yang ditulis”. Dengan aneka tanda baca, simbol,
lambang, singkatan. Antara yang modal dengkul, modal otot dengan yang ahli
karena kapasitas otak, akal, nalar, logika politik, sami mawon. Sudah dibutakan oleh
politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar