memahami gaya self-destructive generasi gojag-gajeg
“Peracik miras maut masih buron”,
sebuah judul berita di Republika, Selasa, 17 April 2018. Beda dengan daya endus
aparat keamanan di zaman Orde Baru, bom masih disimpan di lemari rumah susun,
terlacak.
Di era reformasi yang bergulir dari
puncaknya, 21 Mei 1998, mengandalkan daya juang Densus 88, ternyata bahan baku
miras olosan tak terdekteksi oleh metal detector. Peraciknya mungkin tak
bertampang teroris, sesuai standar dunia.
Jangan buruk sangka dengan berfikir
dalam hati, jangan-jangan Bhayangkara Nusantara belum punya ilmu mendeteksi
peracik miras. Karena para peneguk miras dan atau minol, menjadi tradisi dan
budaya lokal.
Belum ada statistik usia/umur korban
miras. Keluarga korban, khususnya yang meninggl, apakah sudah melakukan
penuntutan. Bisa jadi mengharapkan pihak berwajib turun tangan sampai tuntas. Sebagai
kewajiban dan panggilan tugas. Bukan transaksi perkara.
Modus generasi reformasi, dengan
atraksi spektakulernya, merasa wajib jadi berita. Menjadi pesohor. Dengan modal
tulisan pamer bego di sosial media. Penulis buktikan di facebook. Ketika negara
sibuk kebobolan privasi data, maka dengan tenang generasi yang bebas
berkeliaran di NKRI, malah umbar ujaran tertulis.
Orang batuk berusaha menutupi
mulutnya. Orang bersin reflek menutupi hidungnya dengan kedua telapak
tangannya. Beda dengan pengguna faceook, malah bangga menampakkan IQ-nya dengan
tulisan bak ocehan orang terganggu ingatannya.
Ramuan politik versi 2014-2019,
menjadikan otak politik anak bangsa terkikis sebelum waktunya. Seperti orang
kaya yang santun menyimpan ingusnya di sapu tangannya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar