dilema tahun politik,
generasi grusa-grusu vs generasi srudak-sruduk
Tak salah kawan, ada korelasi
langsung, positif, nyata, terukur antara modus pemerintah dalam periodenya
dengan karakter generasi penerus bangsa. Kendati, dengan catatan bahwa korelasi
dimaksud, termasuk kategori korban pasif.
Praktik demokrasi menjadikan sistem
keterwakilan menjadi tata niaga politik. Jalur politik menjadikan dukungan
terhadap biaya politik terselubung, sebagai jalur konstitusional. Ingat asas no
free lunch.
BPS belum pernah merilis seberapa
pas Indeks Negara Maju untuk Indonesia. Sejauh ini secara asumsi obrolan warung
kopi, NKRI masih bertengger di kategori sebagai negara masih, sedang, akan dan
selalu berkembang. Memakai bahasa revolusi mental, Indonesia Berkembang plus
atau melati berapa atau bintang berapa.
Aksi impor pangan masih terjadi,
sebagai ciri negara “maju”, maju dalam impor. Bukan karena produk dalam negeri
tidak mencukupi. Semua konsekuensi sebagai negara kepulauan, negara maritim.
Akan mubazir kalau tol laut tak sesuai rencana.
Jurus maut, jurus tipu-tipu, jurus
alih rupa, jurus sirna raga, di laga kandang yang tak pernah sepi pemain.
Menjadikan anak bangsa mendapat contoh langsung. Pembelajaran langsung dari
model penyelenggara negara, penguasa, pemimpin. Tinggal pilah dan pilih, sesuai
kemampuan diri. Ukur baju.
Daya serap anak bangsa akan
pendidikan politik yang dipamerkan oleh manusia yang sedang naik daun, ternyata
jauh di luar prakiraan awal. Generasi lebih menyukai dengan daya guna, daya
manfaat waktu formal.
Artinya, dengan menghitung mundur.
Memanfaatkan waktu yang tersedia dengan
tumpukan PR (pekerjaan rumah) maupun rencana formal. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar