Halaman

Selasa, 17 April 2018

dilema tahun politik, generasi grusa-grusu vs generasi srudak-sruduk


dilema tahun politik, generasi grusa-grusu vs generasi srudak-sruduk

Tak salah kawan, ada korelasi langsung, positif, nyata, terukur antara modus pemerintah dalam periodenya dengan karakter generasi penerus bangsa. Kendati, dengan catatan bahwa korelasi dimaksud, termasuk kategori korban pasif.

Praktik demokrasi menjadikan sistem keterwakilan menjadi tata niaga politik. Jalur politik menjadikan dukungan terhadap biaya politik terselubung, sebagai jalur konstitusional. Ingat asas no free lunch.

BPS belum pernah merilis seberapa pas Indeks Negara Maju untuk Indonesia. Sejauh ini secara asumsi obrolan warung kopi, NKRI masih bertengger di kategori sebagai negara masih, sedang, akan dan selalu berkembang. Memakai bahasa revolusi mental, Indonesia Berkembang plus atau melati berapa atau bintang berapa.

Aksi impor pangan masih terjadi, sebagai ciri negara “maju”, maju dalam impor. Bukan karena produk dalam negeri tidak mencukupi. Semua konsekuensi sebagai negara kepulauan, negara maritim. Akan mubazir kalau tol laut tak sesuai rencana.

Jurus maut, jurus tipu-tipu, jurus alih rupa, jurus sirna raga, di laga kandang yang tak pernah sepi pemain. Menjadikan anak bangsa mendapat contoh langsung. Pembelajaran langsung dari model penyelenggara negara, penguasa, pemimpin. Tinggal pilah dan pilih, sesuai kemampuan diri. Ukur baju.

Daya serap anak bangsa akan pendidikan politik yang dipamerkan oleh manusia yang sedang naik daun, ternyata jauh di luar prakiraan awal. Generasi lebih menyukai dengan daya guna, daya manfaat waktu formal.

Artinya, dengan menghitung mundur. Memanfaatkan waktu yang tersedia  dengan tumpukan PR (pekerjaan rumah) maupun rencana formal. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar