pro-rakyat tidak harus merakyat
Langsung
belajar dari bapaknya. Usia belasan tahun sudah jadi kenèk, peladèn bagi
bapaknya yang tukang. Terjadilah generasi tukang. Seperti adanya generasi atau keluarga tani.
Tak
salah jika masih ada generasi petani yang tak mau melanjutkan tradisi jiwa
tani. Bukan tak melihat prospek. Bukan tak ada faktor ajar sebagai pejuang olah
tanah lumpur. Bisa juga karena imbas ada olah banding, daya tanding, nilai
sanding dengan profesi lain, membuat anak cucu petani terpengaruh.
Tentara
dan mungkin polisi, wajib mempunyai watak kesatria (perwira, prajurit). Secara
jenjang kepangkatan, kalau belum perwira, masih prajurit atau bhayangkara.
Tanda strip, atau ‘V’ warna merah, kuning. Di lengan, belum di pundak sebagai simbol tanggung jawab.
Permainan
olahraga catur, sepertinya ada pihak di shaf terdepan. Bukan untuk dikorbankan
atau sebagai pemancing jalannya percaturan. Namanya saja permainan adu otak.
Di
era rezim periode 2014-2019, yang sebutan jenjang karir, tidak laku. Asal sesuai
DUK (daftar urutan kedekatan) maka karir dijamin. Secara politis, asal
mempraktikkan pasal loyal, tinggal tunggu tanggal main.
Kapan
rakyat bisa ikut bermain di laga kandang. Semua sesuai porsinya. Kalau ada yang
karbitan, orbitan. Rakyat akan jadi tabung reaksi, tabung uji coba.
Berangkat
dari akar rakyat, tidak harus mencuat ke permukaan. Pergerakan dalam tanah
bukan tak ada artinya. Wajar, jauh dari jangkauan dan endusan tukang pengganda
aneka ujaran.
Total
jenderal, yang jenderal betulan belum tentu bisa main sampai babak akhir, tahap
final. Lupa akan kulitnya. Lupa dulunya berasal dari mana. Kerbau punya susu,
sapi punya nama. Terbalikkah? [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar