Halaman

Jumat, 20 April 2018

pro-rakyat tidak harus merakyat


pro-rakyat tidak harus merakyat

Langsung belajar dari bapaknya. Usia belasan tahun sudah jadi kenèk, peladèn bagi bapaknya yang tukang. Terjadilah generasi tukang. Seperti adanya generasi atau keluarga tani.

Tak salah jika masih ada generasi petani yang tak mau melanjutkan tradisi jiwa tani. Bukan tak melihat prospek. Bukan tak ada faktor ajar sebagai pejuang olah tanah lumpur. Bisa juga karena imbas ada olah banding, daya tanding, nilai sanding dengan profesi lain, membuat anak cucu petani terpengaruh.

Tentara dan mungkin polisi, wajib mempunyai watak kesatria (perwira, prajurit). Secara jenjang kepangkatan, kalau belum perwira, masih prajurit atau bhayangkara. Tanda strip, atau ‘V’ warna merah, kuning. Di lengan, belum di pundak sebagai simbol tanggung jawab.

Permainan olahraga catur, sepertinya ada pihak di shaf terdepan. Bukan untuk dikorbankan atau sebagai pemancing jalannya percaturan. Namanya saja permainan adu otak.

Di era rezim periode 2014-2019, yang sebutan jenjang karir, tidak laku. Asal sesuai DUK (daftar urutan kedekatan) maka karir dijamin. Secara politis, asal mempraktikkan pasal loyal, tinggal tunggu tanggal main.

Kapan rakyat bisa ikut bermain di laga kandang. Semua sesuai porsinya. Kalau ada yang karbitan, orbitan. Rakyat akan jadi tabung reaksi, tabung uji coba.

Berangkat dari akar rakyat, tidak harus mencuat ke permukaan. Pergerakan dalam tanah bukan tak ada artinya. Wajar, jauh dari jangkauan dan endusan tukang pengganda aneka ujaran.

Total jenderal, yang jenderal betulan belum tentu bisa main sampai babak akhir, tahap final. Lupa akan kulitnya. Lupa dulunya berasal dari mana. Kerbau punya susu, sapi punya nama. Terbalikkah? [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar