Halaman

Rabu, 25 April 2018

ketika loyalis pengusa terdampak penyakit sejarah


ketika loyalis pengusa terdampak penyakit sejarah

Lema ‘kuasa’ begitu dibunyikan sesesuai kaidah berbahasa yang benar, baik dan bagus. Lebih tampak berwibawa jika memakai bahasa politik. Menjelaskan atau mendasari hubungan antar manusia.

Pembelajaran sejarah sedekat ini seolah hanya mengejar nilai lulus. Setelah anak didik maupun mahasiswa lulus, akan mengalami sulit diri untuk merekayasa sejarah pribadi.

Metode belajar sejarah, lebih ke arah bentuk hafalan. Beda dengan pola “menghafalkan” rumus. Sudah mulai terasa kalau warisan peradaban sejarahnya, mengalami seleksi. Bukan seleksi alam. Penulis sejarah lebih gemar mengatasanamakan kekuasaan. Menjadi semacam cerita bersambung dengan tokoh sentral.

Tokoh pergerakan, agen perubahan sedemikian dinarasikan secara gamblang. Bahkan tak jarang, dibuat dokumenter berlatar belakang sejarah ybs. Sebagai bacaan ringan anak bangsa.

Akhirnya sejarah peradaban bangsa lebih diisi dengan kisah sukses penguasa sesuai periodenya. Lagi-lagi bak episode pelipur lara. Banyak anekdot yang bernuansa garang garing. Ironis binti miris, malah jual jasa dan nama besar  kakek nenek moyangnya.

Pada masa peradaban Orde Lama, lingkungan politik masih tahap mencari dukungan. Perkuatan struktur politik dalam negeri, ditentukan oleh daya stabilisasi nasional. Politik dengan segala tantangannya dianggap sebagai kancah adu kuat. Sebagai peluang untuk bertindak demi sukses masyarakat adil dan makmur. Politik sudah sebagai bagian utama dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tantangan semu yang dihadapi kawanan manusia politik menjadikan atau berbanding lurus dengan semakin rendahnya peradaban yang dikuasai. Sebaliknya semakin nyata tantangan maka akan berbanding lurus dengan kemampuan memusnahkan peradaban diri secara mandiri.

Seharusnya manusia akan selalu bersifat dinamis untuk eksis. Tantangan politik tidak bisa diprakirakan. Kalkulasi politik di atas kertas, langsung bisa dimentahkan oleh skenario manusia ekonomi. Terbukti, investor politik dari negara paling bersahabat sudah sampai urusan dapur rakyat.

Rumusan “pejah gesang ndèrèk panguwasa” menjadi penyakit sejarah yang sulit dihapus dari peta peradaban NKRI. Semboyan heroik adalah “berdiri paling depan di belakang penguasa”. Siaga 24 jam untuk menerima warisan dan sekaligus siap hindar diri dari segala kemungkinan yang merugikan.

Dari peruode ke periode, peradaban manusia politik berevolusi secara mayakinkan. Melaju mulai dari level bergantung hidup dari alam (depend on nature), mengelola alam (manage the nature), sampai pada tahap mengendalikan alam (controls the nature) dan kembali menggantungkan nasib kepada kemurahan alam. Politik sebagai mata pencaharian.

Degradasi lingkungan politik tidak terlepas dari kehidupan sosial ekonomi setiap peradaban manusia politik. Khususnya pihak yang menentukan kebijakan partai. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar