ketika
loyalis pengusa terdampak penyakit sejarah
Lema ‘kuasa’ begitu dibunyikan
sesesuai kaidah berbahasa yang benar, baik dan bagus. Lebih tampak berwibawa
jika memakai bahasa politik. Menjelaskan atau mendasari hubungan antar manusia.
Pembelajaran sejarah sedekat ini seolah hanya
mengejar nilai lulus. Setelah anak didik maupun mahasiswa lulus, akan mengalami
sulit diri untuk merekayasa sejarah pribadi.
Metode belajar sejarah, lebih ke arah bentuk
hafalan. Beda dengan pola “menghafalkan” rumus. Sudah mulai terasa kalau
warisan peradaban sejarahnya, mengalami seleksi. Bukan seleksi alam. Penulis
sejarah lebih gemar mengatasanamakan kekuasaan. Menjadi semacam cerita
bersambung dengan tokoh sentral.
Tokoh pergerakan, agen perubahan sedemikian dinarasikan
secara gamblang. Bahkan tak jarang, dibuat dokumenter berlatar belakang sejarah
ybs. Sebagai bacaan ringan anak bangsa.
Akhirnya sejarah peradaban bangsa lebih diisi
dengan kisah sukses penguasa sesuai periodenya. Lagi-lagi bak episode pelipur
lara. Banyak anekdot yang bernuansa garang garing. Ironis binti miris, malah
jual jasa dan nama besar kakek nenek
moyangnya.
Pada masa peradaban Orde Lama, lingkungan politik
masih tahap mencari dukungan. Perkuatan struktur politik dalam negeri, ditentukan
oleh daya stabilisasi nasional. Politik dengan segala tantangannya dianggap
sebagai kancah adu kuat. Sebagai peluang untuk bertindak demi sukses masyarakat
adil dan makmur. Politik sudah sebagai bagian utama dari kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Tantangan semu yang dihadapi kawanan manusia
politik menjadikan atau berbanding lurus dengan semakin rendahnya peradaban
yang dikuasai. Sebaliknya semakin nyata tantangan maka akan berbanding lurus
dengan kemampuan memusnahkan peradaban diri secara mandiri.
Seharusnya manusia akan selalu bersifat dinamis
untuk eksis. Tantangan politik tidak bisa diprakirakan. Kalkulasi politik di
atas kertas, langsung bisa dimentahkan oleh skenario manusia ekonomi. Terbukti,
investor politik dari negara paling bersahabat sudah sampai urusan dapur
rakyat.
Rumusan “pejah gesang
ndèrèk panguwasa” menjadi penyakit sejarah yang sulit dihapus dari peta peradaban NKRI.
Semboyan heroik adalah “berdiri paling depan di belakang penguasa”. Siaga 24
jam untuk menerima warisan dan sekaligus siap hindar diri dari segala
kemungkinan yang merugikan.
Dari peruode ke periode, peradaban manusia politik berevolusi
secara mayakinkan. Melaju mulai dari level bergantung hidup dari alam (depend
on nature), mengelola alam (manage the nature), sampai pada tahap
mengendalikan alam (controls the nature) dan kembali menggantungkan
nasib kepada kemurahan alam. Politik sebagai mata pencaharian.
Degradasi lingkungan politik tidak terlepas dari
kehidupan sosial ekonomi setiap peradaban manusia politik. Khususnya pihak yang
menentukan kebijakan partai. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar