kisah
seorang penguasa dengan kawanan loyalis tuna rungu
Soal kapan dan tempat kejadian perkara, tidak
penting amat atau tidak amat penting. Dirakit dari kisah nyata yang pernah
terjadi di Nusantara. Fiksi, fiktif,
fenomena atau fantasi, bukan urusan pihak berwajib.
Gaya tepuk dada diimbangi pola tepuk jidat menjadi
karakter seorang penguasa pada saat itu. Agar lebih terukur, maka kejadiannya
terkait dengan modus blusukan, inspeksi mendadak, turun ke bawah, anjangsana
dan anjangsini.
Pembuktian yang akan disajikan oleh seorang
penguasa, agar tampak meyakinkan maka disertai rombongan relawan, penggembira,
bonek, aneka strata loyalis sampai juru rekam.
Kali ini, yang ikut adalah sesuai judul. Ada adegan
blusukan jalan kaki di keramaian masyarakat setempat. Melebihi kampanye
politik. Agenda acara dibuat seolah merakyat. Penuh sapa, tawa, tepuk tangan
dan sorak sorai. Bahasa tubuh semakin menguatkan penerimaan.
Akhir cerita. Dengan gaya bak pemimpin yang
kehadirannya selalu didambakan. Mengajukan pertanyaan sambil terkekeh. Pertanyaannya
sama “apa yang sudah kalian dengar?”. Semua penjawab memang mengandalkan
pengelihatan.
Penjawab pertama. Tampak nyata, apa saja reaksi
masyarakat tergantung isyarat tangan seorang penguasa. Isyarat yang sama menghasilkan
reaksi yang tidak sama.
Penjawab kedua. Ekspresi wajah seorang penguasa
bisa menghadirkan gelak tawa pengunjung. Tak kurang yang melonjak-lonjak
kegirangan. Apalagi jika ada pembagian hadiah sepeda.
Penjawab ketiga. Herannya, orang yang berlagak
penting di balik sosok seorang penguasa, tampak adem ayem. Sudah terbiasa dan
hafal dengan acara, adegan, atraksi di depan matanya.
Cukup 3 (tiga) penjawab yang ditampilkan dalam
laporan asal ini. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar