ilusi tahun politik, dua
digit vs dua periode
Ideal atau sebaliknya, memang
sedikitnya partai politik (paprol) sesuai karakter negara kepulauan. Anak bangsa
pribumi yang tradisional sampai dinamis, sebagai tambang emas saat pesta
demokrasi lima tahunan.
Jumlah parpol bisa mempengaruhi lama
periode pemerintah. Karena Indonesia belum punya mégaproyek kaderisasi, satu dekade
pun dirasa sebentar. Pekerja parpol memang cepat puas. Semakin jadi kader
semakin tidak puas. Ini embrio penyakit korupsi.
Pasca reformasi yang bergulir mulai
puncaknya, 21 Mei 1998, menghasilkan 3 presiden yang tidak sampai satu periode.
Bukan kecelakaan politik, tapi malah sebagai bencana politik. Justru ikhwal ini
menjadi modal parpol untuk minat besar menagjukan jagonya ikut pilpres.
Manusia politik secara masif tutup
mata dengan fakta mengapa SBY bisa dua periode berturut-turut. Sekaligus seolah
tak mau tahu, apa modus JK sehingga bisa dua periode tak berturut-turut. Apa kaitannya semua parpol merasa bisa raih dua digit di pilpres 2019.
Tak kapoknya anak bangsa mendirikan
parpol. Sejalan dengan anak cucu ideologis pencetus menu Nasakom, untuk lenggak-lenggok
di kancah politik.
Politik-hukum-ekonomi menjadi satu
kesatuan dan saling adu kuat. Di negara seperti apapun, yang tetap dominan
adalah manusia ekonomi.
Jadi selama masih ada genomena
masyarakat kurang beruntung, parpol seolah maju ke depan mengambil keuntungan
situasi. Sudah mudah ditebak daya juang wakil rakyat.
Rakyat tetap optimis. Kita sebagai
bangsa pemaklum. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar