Halaman

Jumat, 06 April 2018

pahami bahasa China, agar kita selamat dari keburukannya


pahami bahasa China, agar kita selamat dari keburukannya

Bangga diri karena  bisa beli pakai barang impor. Merasa bermartabat karena  mampu makan makanan, minimum produk asing. Soal peringatan dengan bahasa asing di kemasan, liwati saja. Apalagi memakai huruf yang tidak kita kenal. Semisal huruf Kanji-nya Jepang dst.

Yogyakarta menyandang predikat kota pelajar, kota pendidikan, kota budaya punya seabreg cerita pertemuan dua bahasa. Pelajar dan/atau mahasiswa yang kost, mondok di rumah penduduk sekitar kampus. Penduduk masih ada yang hanya menggunakan bahasa Jawa. Bahkan bahasa Jawa masih dipakai oleh orang kantor di kab Sukoharjo, Jawa Tengah. Pengalaman akhir 2016.

Tentunya banyak kisah, pengalaman ybs sebagai pendatang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Apa jadinya bahwa nyatanya NKRI sebagai tujuan wisata dunia. Banyak obyek wisata yang layak jual. Rakyat, terutama di daerah yang jauh dari ibukota provinsi maupun ibukota kabupeten/kota, sulit membedakan mana wisatawan sejati dengan yang berkedok wisatawan.

Bahkan tak jarang diberitakan awak media yang masih baik dan benar, ada lokasi penampungan wisatawan asing. Tidak hanya di kawasan reklamasi, pulau-pulau kecil terpencil. Bisa di daerah strategis perdagangan. Ijin masuk sebagai wisatawan asing, setelah itu baru menampakkan niat awalnya.

Bangsa Tionghwa yang sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Jumlah manusainya mungkin bisa satu provinsi atau minimal populasi kabupaten/kota. Ingat dengan kampong pecinan, yang ada di beberapa kota besar Indonesia. Pembauran melalui agama Islam.

Tahun baru Imlek, China diakui dalam kalender bangsa. Sepak terjang bangsa China sudah melampaui adab. Baik dari segi ekonomi maupun aspek politik. Anak bangsa pribumi siap jadi jongos, budak di negeri sendiri. Kepala negara 2014-2019 sudah jadi antèk. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar