pahami bahasa China,
agar kita selamat dari keburukannya
Bangga diri karena bisa beli pakai barang impor. Merasa bermartabat
karena mampu makan makanan, minimum produk
asing. Soal peringatan dengan bahasa asing di kemasan, liwati saja. Apalagi memakai
huruf yang tidak kita kenal. Semisal huruf Kanji-nya Jepang dst.
Yogyakarta menyandang predikat kota
pelajar, kota pendidikan, kota budaya punya seabreg cerita pertemuan dua
bahasa. Pelajar dan/atau mahasiswa yang kost, mondok di rumah penduduk sekitar
kampus. Penduduk masih ada yang hanya menggunakan bahasa Jawa. Bahkan bahasa
Jawa masih dipakai oleh orang kantor di kab Sukoharjo, Jawa Tengah. Pengalaman
akhir 2016.
Tentunya banyak kisah, pengalaman
ybs sebagai pendatang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Apa jadinya bahwa nyatanya NKRI sebagai
tujuan wisata dunia. Banyak obyek wisata yang layak jual. Rakyat, terutama di
daerah yang jauh dari ibukota provinsi maupun ibukota kabupeten/kota, sulit
membedakan mana wisatawan sejati dengan yang berkedok wisatawan.
Bahkan tak jarang diberitakan awak
media yang masih baik dan benar, ada lokasi penampungan wisatawan asing. Tidak hanya
di kawasan reklamasi, pulau-pulau kecil terpencil. Bisa di daerah strategis
perdagangan. Ijin masuk sebagai wisatawan asing, setelah itu baru menampakkan
niat awalnya.
Bangsa Tionghwa yang sudah ada sejak
zaman penjajahan Belanda. Jumlah manusainya mungkin bisa satu provinsi atau
minimal populasi kabupaten/kota. Ingat dengan kampong pecinan, yang ada di
beberapa kota besar Indonesia. Pembauran melalui agama Islam.
Tahun baru Imlek, China diakui dalam
kalender bangsa. Sepak terjang bangsa China sudah melampaui adab. Baik dari segi
ekonomi maupun aspek politik. Anak bangsa pribumi siap jadi jongos, budak di negeri
sendiri. Kepala negara 2014-2019 sudah jadi antèk. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar