tak ada impor,
selundupanpun jadi
Hanya daya juang di atas rasa
parmrih, bebas kalkulasi politis yang menjadikan anak bangsa ini bisa dipenuhi
kebutuhan dasarnya dari dalam negeri. Namun karena imbas serba bebas, mau tak
mau, Indonesia siap menerima limpahan maupun limbah produk asing.
Di laut pun ada jalur tikus, jalur
lelang, jalan pintas atau ada jalur “tahu sama tahu”. Namanya kebutuhan dasar,
ingat hukum ekonomi bagi penghasilan, pendapatan. Rumas pas : cukup : kurang.
Modal sempoa, pedagang bisa
menghitung keuntungan yang akan diraih atau datang sendiri.
Memakai sejarah terjadinya permainan
olahraga catur. Pemerintah atau pihak yang berkepentingan dengan politik beras.
Jika ada biaya dengar seratus Rp per kg. ini resmi. Tergantung hasil perkalian.
Jadi, hasilnya nyata di penduduk. Mulai
alas kaki sampi tutup kepala, dipakai serasa menjadi orang asing. Merasa naik
gengsi. Mendongkrak pamor dan gaya hidup.
Ketika NKRI memasuki ramalan “Londo kèri sejodo” maupun nalika Jawa
dikalungi wesi, maka sudah tidak ada batas waktu dan tidak ada jarak tempat.
Gelombang pasang sampai rembesan
barang asing – bahkan berkat jasa penguasa 2014-2019 terjadi serbuan TKA – bisa
menggusur eksistensi bumbu dapur.
Tak aneh, sepeninggal penjajah
bangsa asing, masih terjadi cinta asing. Jangan bilang siapa-siapa, ideologi
pun merupakan serapan dari unsur asing. Bukti historis dengan adanya menu
politik Nasakom di zaman Orde Lama. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar