Halaman

Minggu, 01 April 2018

aksi garang penguasa tanda tak dalam


aksi garang penguasa tanda tak dalam

Rakyat heran. Di mana Jokowi plus/minus JK nemu orang, terus dijadikan pembantu presiden. Atau secara perseorang dilantik oleh presiden. Sampai-sampai presiden kelima yang sekaligus wakil presiden kedelapan, mau-maunya turun strata menjadi kepala Pancasila banget yang hanya setingkat menteri.

Pasal ada rombak kabinet, rakyat semakin yakin kalau salah orang. Wajar, di negara super maju, presiden gonta-ganti orang yang dapat dipercaya. Tidak tahu di negeri China, yang presidennya seumur hidup, apa ada bongkar pasang. Bukan urusan rakyat dan rakyat juga tak mau tahu.

Rakyat lebih heran lagi, manusia yang bukin ulah atau seolah-olah hanya duduk manis, tanpa daya, aman-aman saja.

Berkat perubahan ketiga UUD NRI 1945 maka muncul ayat baru, yaitu Pasal 1 ayat (3) : Negara Indonesia adalah negara hukum.

Semakin banyak hukum, berarti negara merasa tenang untuk keluar malam. Tidak takut dibegal di tengah jalan. Praktik berbangsa, bernegara, bermasyarakat bisa 24 jam sehari semalam.

Pelanggar hukum datang dari oknum atau pihak yang tahu hukum. Karena merasa kuasa, kuat, kaya. Hukum bisa dinego. Tidak sekedar melihat celah dan peluang pasal hukum, tetapi melihat “perlu uana” atau kelemahan aparat penegak hukum.

Jangankan kroco, menteri atau setingkat menteri semacam kapolri, menyangkut Rp, berlaku asas tahu sama tahu. Sama rasa sama rata. Beda strata beda tarif dan ongkos perkara.

Rakyat sulit melupakan peribahasa Jawa : asu gedhé menang kerahé.

Karena ybs tidak faham paribasan Jawa. Jalan keluarnya, pakai peribahasa “air beriak tanda tak dalam”. Dioplos dengan “anjing menggonggong tak menggigit”. Hasilnya, penguasa semakin mabuk, mabuk hukum. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar