aksi garang penguasa
tanda tak dalam
Rakyat heran. Di mana Jokowi
plus/minus JK nemu orang, terus dijadikan pembantu presiden. Atau secara
perseorang dilantik oleh presiden. Sampai-sampai presiden kelima yang sekaligus
wakil presiden kedelapan, mau-maunya turun strata menjadi kepala Pancasila
banget yang hanya setingkat menteri.
Pasal ada rombak kabinet, rakyat
semakin yakin kalau salah orang. Wajar, di negara super maju, presiden
gonta-ganti orang yang dapat dipercaya. Tidak tahu di negeri China, yang
presidennya seumur hidup, apa ada bongkar pasang. Bukan urusan rakyat dan
rakyat juga tak mau tahu.
Rakyat lebih heran lagi, manusia
yang bukin ulah atau seolah-olah hanya duduk manis, tanpa daya, aman-aman saja.
Berkat perubahan ketiga UUD NRI 1945
maka muncul ayat baru, yaitu Pasal 1 ayat (3) : Negara Indonesia adalah negara
hukum.
Semakin banyak hukum, berarti negara
merasa tenang untuk keluar malam. Tidak takut dibegal di tengah jalan. Praktik berbangsa,
bernegara, bermasyarakat bisa 24 jam sehari semalam.
Pelanggar hukum datang dari oknum
atau pihak yang tahu hukum. Karena merasa kuasa, kuat, kaya. Hukum bisa dinego.
Tidak sekedar melihat celah dan peluang pasal hukum, tetapi melihat “perlu uana”
atau kelemahan aparat penegak hukum.
Jangankan kroco, menteri atau
setingkat menteri semacam kapolri, menyangkut Rp, berlaku asas tahu sama tahu. Sama
rasa sama rata. Beda strata beda tarif dan ongkos perkara.
Karena ybs tidak faham paribasan
Jawa. Jalan keluarnya, pakai peribahasa “air beriak tanda tak dalam”. Dioplos dengan “anjing menggonggong tak
menggigit”. Hasilnya, penguasa semakin mabuk, mabuk hukum. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar