Perang Urat
Syarat, Tidak Perlu Kode Etik
Di tahun politik, untuk mencapai
target yang terukur, terstruktur, bisa dirumuskan, pihak kontestan sepertinya
siap adu ilmu. Semua jurus andalan, senjata rahasia dikeluarkan. Termasuk jurus
tipu-tipu. Prinsipnya, sama-sama kalah, sama-sama menang.
Soal biaya, tak perlu dirisaukan.
Semakin lantang bersuara dipastikan dukungan akan banyak. Merasa elektabilitas,
polularitas, nilai tawar, nilai jual di atas rata-rata, tinggal masalah waktu. Zaman
pasar bebas, investor politik mancanegara, bisa ambil peran menentukan.
Bagi pihak yang punya agenda
terselubung, tidak sekedar memanfaatkan pilkada serentak 2018 maupun pemilu legislatif
serentak dengan pilpres 2019. Modus memperkeruh suasana menjadikan menghalalkan
segala cara, segenap rekayasa, serta aneka manipulasi.
Pihak yang mempunyai media masa,
menguasai SDM, mengantongi data/informasi karena tugas (termasuk privasi data),
di atas kertas sudah sebagai pemegang kendali.
Selagi belum jelas mana kawan,
siapa lawan, maka umpan berbasis ujaran kebencian, ujaran kebohongan, ujaran
kebodohan maupun tindak tutur yang garang-garing, menjadi menu utama.
Pemerintah saja belum tahu
persis, mana loyalis sejati, siapa loyalis bayaran, seberapa banyak loyalis
abal-abal, kw2. Belum berani menduga apakah tarif dasar relawan akan berlipat
jika maju lagi ke periode kedua. Intinya, merasa belum waktunya merapatkan
barisan. Politik transaksional menjelma menjadi lelang bebas.
Munculnya semacam ujaran pengamat
politik Rocky Gerung yang sebut kitab suci adalah fiksi. Semakin menujukkan
modus, pola gerakan politik berbasis menu politik zaman Orde lama yaitu menu
Nasakom.
Agama saja dijadikan bahan
olok-olok, apalagi hal yang lain. Ini bukan pamer cerdas ideologi atau cerdas
bicara, tapi memang demikianlah watak ular berbisa.
Sebagaian besar rakyat NKRI yang
masih ber-Pancasila, saatnya menyatukan pilihan. Jangan mengulangan kesalahan, kezaliman,
kemungkaran dan dosa yang sama. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar