Dalih HAM, Ujaran
Berbasis Multi-B Menjadi Budaya Bangsa
Mulanya biasa saja. Modal rekam
jejak, Polri mampu merakit, mengoplos produk hukum SE Kapolri Nomor :
SE/6/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015
tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech).
Standar apa yang dipakai, tentu
berdasarkan pertimbangan kemungkinan kasus yang pernah, sedang, akan selalu terjadi.
Kita tidak tahu apakah modus yang akan dilakukan Polri bersifat prévéntif, réprésif,
kuratif. Atau pertimbangan praktis
belaka.
Atau secara yuridis, saat itu
pasal hina presiden mau diaktifkan, dihidupkan agar lebih menggigit.
Periode 2014-2019 semakin
memperkokoh bahwasanya politik sebagai faktor penentu nasib bangsa. Selama periode
dan efek domino “bom waktu” yang ditinggalkan.
Demi atas nama menjaga wibawa
negara, khususnya di dalam negeri, jangan sampai terjadi pelecehan. Semisal,
jabatan presiden di mata partai politik pendukungnya hanya sebatas sebagai
petugas partai. Maka karena kekuasaan diraih dengan janji politik, maka “B”
kedua dst adalah bohong, bodoh bego. Berwujud ujaran kebohongan (dikenal dengan
hoax), ujaran kebodohan (bahasa politisnya asbun, garang-garing), ujaran kebegoan (hobi mencari kambing hitam).
Gerakan separatis berkedok
politik yang semakin subur dalam kemasan dinasti politik, anak cucu ideologis,
keluarga trah politik dan sebutan lainnya. Derajat tertentu sudah sampai bentuk
pemerintah bayangan. Daya korupnya tak tanggung-tanggung.
Pihak yang menjalankan
kelembagaan TIK atau media masa secara yuris formal, menguasai SDM secara structural
maupun fungsional, mengantongi data/informasi karena tugas (termasuk privasi
data KTP-elektronik), di atas kertas hanya penguasa yang bisa.
Akhirnya, secara meyakinkan
banyak anak bangsa pribumi memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk main ujaran. Pemerintah
dengan standar gandanya, sudah siap main gebug duluan, rembug belakangan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar