Halaman

Jumat, 13 April 2018

Dalih HAM, Ujaran Berbasis Multi-B Menjadi Budaya Bangsa


Dalih HAM, Ujaran Berbasis Multi-B Menjadi Budaya Bangsa

Mulanya biasa saja. Modal rekam jejak, Polri mampu merakit, mengoplos produk hukum SE Kapolri Nomor : SE/6/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015  tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech).

Standar apa yang dipakai, tentu berdasarkan pertimbangan kemungkinan kasus yang pernah, sedang, akan selalu terjadi. Kita tidak tahu apakah modus yang akan dilakukan Polri bersifat prévéntif, réprésif, kuratif.  Atau pertimbangan praktis belaka.

Atau secara yuridis, saat itu pasal hina presiden mau diaktifkan, dihidupkan agar lebih menggigit.

Periode 2014-2019 semakin memperkokoh bahwasanya politik sebagai faktor penentu nasib bangsa. Selama periode dan efek domino “bom waktu” yang ditinggalkan.

Demi atas nama menjaga wibawa negara, khususnya di dalam negeri, jangan sampai terjadi pelecehan. Semisal, jabatan presiden di mata partai politik pendukungnya hanya sebatas sebagai petugas partai. Maka karena kekuasaan diraih dengan janji politik, maka “B” kedua dst adalah bohong, bodoh bego. Berwujud ujaran kebohongan (dikenal dengan hoax), ujaran kebodohan (bahasa politisnya asbun, garang-garing), ujaran kebegoan (hobi mencari kambing hitam).

Gerakan separatis berkedok politik yang semakin subur dalam kemasan dinasti politik, anak cucu ideologis, keluarga trah politik dan sebutan lainnya. Derajat tertentu sudah sampai bentuk pemerintah bayangan. Daya korupnya tak tanggung-tanggung.

Pihak yang menjalankan kelembagaan TIK atau media masa secara yuris formal, menguasai SDM secara structural maupun fungsional, mengantongi data/informasi karena tugas (termasuk privasi data KTP-elektronik), di atas kertas hanya penguasa yang bisa.

Akhirnya, secara meyakinkan banyak anak bangsa pribumi memanfaatkan kebijakan pemerintah untuk main ujaran. Pemerintah dengan standar gandanya, sudah siap main gebug duluan, rembug belakangan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar