Halaman

Rabu, 04 April 2018

panguwasa menang polahé marakaké pranatan bubrah


panguwasa menang polahé marakaké pranatan bubrah

Ciri bahwasanya negara Indonesia adalah negara hukum, yaitu hukum dibuat demi kepentingan pihak yang paling berpentingan. Semakin banyak UU dan produk hukum turunannya sebagai bukti masyarakat sudah melek hukum.

Artinya, dalam pelaksanaan hidup bermasyarakat, per;lu banyak rambu-rambu dan aturan main tertulis maupun tak tertulis. Rakyat diberi tahu tata cara sejak keluar rumah sampai masuk rumah lagi. Artinya, ketika berinteraksi atau berada di wilayah umum, ikut adat yang berlaku.

Manusia sebagai makhluk bebas, tidak bisa bertindak bebas sebebas-bebasnya walau demi kebebasan maupun HAM.

Di lingkungan tempat tinggal, dibentuk Rukun Tetangga. Beberapa RT membentuk RW atau sebutan lainnya. Kehidupan bermasyarakat dalam skala RW, masih terjadi keharmonisan, tenggang rasa, gotong royong.

Meningkat masuk skala kelurahan/desa. Desa mawa cara, negara mawa tata. Peribahasa Melayu : di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.

Mulailah bahwasanya kelurahan adalah pemerintahan paling bawah. Dalam arti, jabatan lurah adalah jabatan penyelenggara negara. Beda dengan kepala desa yang dipilih langsung oleh rakyatnya. Aspek tata pemerintahannya tidak jauh beda.

Semakin meningkat, hirarkis, maka jabatan ketua, kepala bisa bersifat komersial dalam bingkai politik. Jabatan yang diperoleh dengan sistem pemilhan, jelas ada aturan main yang tidak main-main. Dalam arti, semakin jauh dari rakyat karena disibukkan dengan status sebagai hamba, abdi, jongos partai politik.

Di jabatan bupati dan/atau walikota, sudah terasa kasta, strata, klas sosial. Belum lagi soal modus wakil rakyat. Populer di lingkungan tempat tinggal maupun dapilnya.

Tak salah jika gubernur dan wakil rakyat provinsi, bersifat mengambang. Karena rakyat sudah diwakili oleh wakil rakyat kabupaten/kota. Untuk semua urusan. Gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Sebagai jubir atau tukang halo-halo atau sebagai perantara utama usulan, aspirasi daerah.

Ironis binti miris, kepala daerah lebih patuh, taat, loyal tanpa reserve, tanpa pikir panjang kepada kebijakan partai. Semakion banyak parpol yang punya kursi di Senayan, maka dipastikan atau layak dipastikan akan ada adu kuat. Ujung-ujungnya, rakyat yang jadi korban. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar