menulis memang harus téndénsius
Tulisannya biasa-biasa saja. Jangan lupa,
Justru, tulisan – dengan pengertian sebagai karya tulis – jika tampak
biasa-biasa saja, telah meliwati proses yang tak biasa. Tidak bombastis,
spektakuler. Dengan bersahajanya tulisan, bisa sebagai kesimpulan akhir.
Masih juga bingung. Penulis lebih
bingung. Mau bilang apa. Kendati pernah membuat tulisan yang banyak pembacanya,
pemirsanya. Bukan berrati setiap produk, mempunyai nasib yang sama. Walau periwayatan
prosesnya tak beda jauh.
Kata orangtua zaman dauhulu,
wejangan sederhana. Jika kita tidak suka dengan sesuatu. Maka sesuatu itu akan
selalu hadir di hati kita. Tidak suka dengan orang lain. Entah kelakuan, atau
orangnya. Maka, makhluk halus penggoda, pengganggu manusia, seperti diberi
peluang untuk menyajikan berita buruknya.
Tidak bisa dianalogkan dengan
kebalikannya. Karena walau manusia sebagai makhluk yang sempurna (dibanding
dengan makhluk lain, ciptaan-Nya). Ada saja nilai kurang. Bisa menggiring
manusianya, menuju ke titik kritis, ambang bawah.
Positiif thinking, kata sebagian umat
manusia, ketika kita siap menulis. Jangan apriori. Idealnya, harus punya 3
(tiga) atau lebih fakta yang seolah tak ada kaitannya. Ambil benang merah dari
fakta yang representatif yang heterogen.
Mata siaga baca ayat kauniyah,
feniomena alam, gejala dan gejolak sosial, kegelisahan binatang mengantisipasi
aksi alam. Radar hati siap menangkap sinyal yang tampak sederhana. Tapi menggetarkan
hati.
Aneka masukan yang kita terima
melalu indera, jiwa, hati sanubari. Firasat, bisikan hati sebagai pratanda
bahwa kita hatus menterjemahkannya. Menjadi tulisan. Dengan bahasa sederhana,
karena yang diungkapkan hal yang tidak sederhana. Pakai bahasa hati. Ajak pembaca
ikut berpikir secara aktif.
Melihat judul, membaca cepat alenia
pertama, calon pembaca terangsang, tergugah hatinya. Apalagi ada yang setelah
itu melirik ke alenia terakhir, bagaimana akhir kisah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar