Halaman

Jumat, 06 April 2018

dilema regenerasi kepimpinan nasional, kebutuhan demokrasi vs syarat konstitusi


dilema regenerasi kepimpinan nasional, kebutuhan demokrasi vs syarat konstitusi

Demokrasi berasal dari perkataan “demos yang berarti rakyat dan kratien atau cratie yang berasti kekuasaan. Dengan demikian demokrasi berarti kekuasaan rakyat, yaitu sebagai suatu konsep tentang pemerintahan oleh rakyat atau “rule by the people.

Tentu, konsep demokrasi yang dimaksudkan disini identik dengan pengertian kedaulatan rakyat atau “the rule by the people (the peoples sovereignty).

Artinya, demokrasi itu dalam arti normatif dan formalistik, memang harus dibedakan dari pengertiannya yang aktual dalam kenyataan.

Dalam demokrasi, yang dianggap pokok adalah manusia. Manusia bahkan dianggap sebagai pusat kehidupan. Memang terdapat perbedaan antara sistem individualisme-liberal dengan sistem kolektivisme-sosialis. Yang satu melibat setiap pribadi manusia sebagai pribadi yang otonom, sedangkan yang kedua lebih mengutamakan otonomi dari kolektivitas manusia yang hidup bersama. Namun demikian, baik paham pertama yaitu paham individualisme-liberal maupun paham kedua kolektivisme-sosialis dan komunis sesungguhnya sama-sama memandang bahwa manusia adalah titik pusat dari semua aspek kehidupan.

Seperti dikemukakan di atas, yang dikenal sebagai pemegang kedaulatan dalam sistem kekuasaan bernegara ada Tuhan (theos), Raja (monarch), Hukum (nomos), atau Rakyat (demos). Konsep yang menganggap Tuhan sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi disebut teokrasi. Konsep kedaulatan atau kekuasaan tertinggi oleh hukum disebut nomokrasi, sedangkan konsep kedaulatan di tangan rakyat disebut demokrasi.

Dalam demokrasi, hanya manusia yang disebut rakyat saja lah yang dijadikan titik tolak dan pusat perhatian satu-satunya. Pandangan ini dikenal dengan istilah anthropocentrisme yang menempatkan kehidupan terpusat hanya pada diri manusia. Dibandingkan masa sebelumnya, terutama di zaman pra-modern, pandangan yang bersifat „anthropocentris ini tentu dapat dianggap lebih maju dan lebih baik. Akan tetapi dewasa ini, orang harus menyadari bahwa demokrasi bukanlah segala-galanya jika sistem ini ternyata justru menyebabkan umat manusia merusak ekosistem dan sumber kehidupannya sendiri.

Karena itu, doktrin demokrasi yang bersifat anthroposentris harus diseimbangkan dengan ekokrasi yang bersifat ekosentris. Paham antroposentisme harus berada dalam posisi hubungan yang saling imbangi-mengimbangi (checks and balances) dengan paham ekosentrisme.

Sistim demokrasi yang bersifat “anthropocentris dan mengandaikan kedudukan sentral rakyat manusia dalam paradigma berpikirnya harus diimbangi oleh sistim ekokrasi (ecocracy) yang memandang alam semesta berada dalam hubungan kekuasaan yang seimbang dengan manusia. Alam dan manusia dipandang sama-sama mempunyai hak dan kekuasaannya sendiri. Alam dan manusia sama-sama merupakan subjek hak-hak yang bersifat asasi. Karena itu, seperti halnya rakyat manusia, alam juga memegang kekuasaan yang di bidang atau dalam hal-hal tertentu juga bersifat tertinggi, sehingga hal itu dapat disebut sebagai Kedaulatan Lingkungan.

Dewasa ini, istilah demokrasi pun sudah menjadi semacam bahasa pergaulan yang lazim di seluruh dunia, yang seakan tanpa sistem demokrasi suatu kehidupan negara ideal yang diimpikan tidak akan dapat diwujudkan. Padahal, dalam kenyataannya, dengan demokrasi, kerusakan lingkungan hidup di mana-mana menjadi semakin meluas bersamaan dengan penerapan demokrasi yang membebaskan manusia untuk berbuat sesuka-hatinya atas nama kemuliaan hak-hak asasi manusia. Dalam sistem demokrasi sangat diagagungkan adanya kebebasan manusia, yang dengan bantuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serba modern menyebabkan manusia dengan mudah dapat menguasai alam, termasuk untuk mengekploitasinya dalam rangka memenuhi hasrat kemanusiaan yang cenderung serakah dan tanpa batas.

Dalam alam pikiran sistem demokrasi, manusia dianggap berada di atas segala-gala. Manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri. Semua gagasan pembangunan bertumpu pada perspektif yang sama, yaitu paradigma “anthropocentrisme yang memusatkan kehidupan pada diri manusia. Sebagai akibat dari cara berpikir demikian, maka jadilah manusia menganggap dirinya sendiri berada di atas segala-galanya yang dapat mengeksploitasi alam dengan sesukanya sendiri. Karena itulah, dengan cara yang ekstrim dan provokatif, dengan maksud untuk menggugah, kita dapat mengatakan bahwa kerusakan alam yang terjadi dimana-mana dewasa ini pada pokoknya disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi yang luas di seluruh dunia. Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana dewasa ini, disebabkan oleh demokrasi yang tidak diiringi dan diimbangi secara memadai oleh kesadaran mengenai pentingnya keseimbangan ekologis dalam hubungan antara manusia dengan alam sekitar dan bahkan dengan alam semesta. (alenia pertama s.d alenia ke sepuluh, dicomot dari “GAGASAN KEDAULATAN LINGKUNGAN: DEMOKRASI VERSUS EKOKRASI, Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH).

Dapat disimpulkan bahwa hak konstitusional warga negara ialah HAM yang dimuat seuai perubahan kedua UUD NRI 1945 di Bab XA Hak Asasi Manusia, yang meluputi Pasal 28A hingga 28J.

Meskipun demikian hak konstitusional tidak selalu identik dengan HAM. Hal ini dapat dilihat pada hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, hak ini tidak berlaku pada orang yang bukan warga negara. Oleh karena itu, hak konstitusional berlaku bagi warga negara yang memenuhi syarat menurut hukum sebagai warga negara. Hal ini berbeda dengan hak asasi yang berlaku secara universal.

Hak konstitusional juga berkenaan akan hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam menegakkan hak asasi yang menjadi bagian hak konstitusional warga negara maka mekanisme ini dapat ditempuh oleh warga negara yang merasa hak asasi manusianya telah dilanggar oleh karena itu ia dapat menempuh upaya ini dalam mempertahankan hak-haknya yakni hak asasinya yang terkandung dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini terkait juga atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi dalam proses perjalanan ketatanegaraan Indonesia.

Hak konstitusional warga negara merupakan hak yang diberikan oleh negara yang diberikan oleh karena status kewarganegaraan yang terlegitimasi dalam UUD 1945. Hak ini merupakan hasil legitimasi yang diakui dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Dapat dikatakan hak konstitusional merupakan hak warga negara.

Hak warga negara merupakan hak yang diberikan oleh negara atas status kewarganegaraan yang menurut peraturan perundang-undangan. Di dalam hak warga negara disamping hak konstitusional, terdapat hak sipil. Hak sipil merupakan hak yang diberikan dan dijamin dalam peraturan perundang-undangan di luar konstitusi yang diberikan oleh negara oleh karena status kewarganegaraan seseorang.

Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia, Indonesia telah mengakui dan menghormati hak konstitusional. Penghormatan tersebut ditemukan dalam Pancasila sebagai ideologi atau pandangan dasar negara Indonesia. Dalam sila ke-2 yang menyatakan : Kemanusiaan yang adil dan beradab serta sila ke-5 yang menyatakan : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bertolak dari kedua sila tersebut bahwa dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia harus melihat nilai kemanusiaan yang terdapat di dalam diri manusia yang merupakan hal yang kodrati yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan di dunia ini. Penghormatan nilai kemanusiaan ini diaplikasikan ke dalam setiap tindakan pemegang kekuasaan negara. Oleh karena itu, warga negara harus diperlakukan secara beradab oleh pemegang kekuasaan negara. Bentuk penghormatan tersebut harus mencerminkan keadilan yang mana keadilan tersebut mencakup seluruh aspek sosial masyarakat.

Pengakuan hak konstitusional mengisyaratkan adanya pemenuhan hak konstitusional warga negara. Pemenuhan hak konstitusional warga negara dituangkan dalam UUD 1945 sebagai aturan dasar negara. Pemenuhan hak konstitusional warga negara dimuat dalam Pasal 27 hingga Pasal 32 UUD 1945, terlebih lagi dalam pasal 28 A Hingga Pasal 28 J.

Pemenuhan hak tersebut merupakan jaminan hak warga negara yang mana harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Semua bentuk kebijakan ataupun Produk hukum yang dibuat oleh pemegang kekuasaan negara tidak dapat mengesampingkan hak yang termuat dalam UUD 1945. Pemenuhan hak tersebut sebagai bentuk tindak lanjut dari penghormatan hak konstitusional warga negara.

Keberadaan hak konstitusional sebagai batasan tindakan pemegang kekuasaan negara dalam penyelenggaraan negara yang berhadapan atas hak konstitusional warga negara bermuara pada satu titik yakni bagaimana hak itu dijamin oleh negara melalui pengaturan dalam konstitusi. Salah satu acuan dalam menentukan apakah telah terselenggaranya penjaminan hak konstitusional warga negara ialah adanya mekanisme hukum yang tegas dalam melindungi hak konstitusional warga negara dari tindakan pemegang kekuasaan negara dalam praktik kehidupan bernegara.

Perlindungan hak konstitusional melalui mekanisme pengadilan guna mempertahankan hak konstitusionalnya dari tindakan pelanggaran yang mencederai hak konstitusional tersebut yang dilakukan pemegang kekuasaan negara.

Pengadilan tata negara di Indonesia yang dimaksud yakni Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara dalam bidang yudikatif yang mempunyai kompetensi mengadili pengujian konstitusionalitas undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 sebagai upaya tegaknya hak konstitusional warga negara atas kelalaian pemegang kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam menyusun undang-undang yang menyebabkan tercederainya hak konstitusional warga negara.

Meskipun demikian, perlindungan dalam sistem peradilan ini tidak hanya terkait atas perlindungan hak konstitusional warga negara (dalam kaitan status kewarganegaraan tersangka) namun juga menyangkut hak-hak asasi manusia yang perlindungannya diakui secara universal.

Selain melalui proses pengadilan, mekanisme hukum yang dapat ditempuh dalam mempertahankan hak konstitusional warga negara dapat ditempuh melalui jalur diluar pengadilan. Wujud dari perlindungan tersebut berupa institusi yang dibentuk berdasarkan maksu pembentukan, wewenang serta aktifitasnya. Institusi itu antara lain : a. Ombudsman Republik Indonesia; b. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; c. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. (alenia kesebelas s.d alenia kedua puluh empat, dicuplik bebas dari Bab II Hak Konstitusional Warga Negara, USU).

SIMPUL SEDERHANA
Ditambah dengan pembelajaran dari pengalaman periodeisasi presiden pertama s.d presiden keenam, sudah ada kesimpulan akurat. Sebagai warga negara yang benar dan baik, tidak mungkin akan mengulang kesalahan dan dosa yang sama. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar