dilema
regenerasi kepimpinan nasional, kebutuhan demokrasi vs syarat konstitusi
Demokrasi berasal dari perkataan “demos‟ yang berarti rakyat dan
„kratien‟ atau “cratie‟ yang berasti kekuasaan.
Dengan demikian demokrasi berarti kekuasaan rakyat, yaitu sebagai suatu konsep
tentang pemerintahan oleh rakyat atau “rule by the people‟.
Tentu, konsep demokrasi yang
dimaksudkan disini identik dengan pengertian kedaulatan rakyat atau “the
rule by the people‟ (the people‟s sovereignty).
Artinya, demokrasi itu dalam arti
normatif dan formalistik, memang harus dibedakan dari pengertiannya yang aktual
dalam kenyataan.
Dalam demokrasi, yang dianggap pokok
adalah manusia. Manusia bahkan dianggap sebagai pusat kehidupan. Memang
terdapat perbedaan antara sistem individualisme-liberal dengan sistem
kolektivisme-sosialis. Yang satu melibat setiap pribadi manusia sebagai pribadi
yang otonom, sedangkan yang kedua lebih mengutamakan otonomi dari kolektivitas
manusia yang hidup bersama. Namun demikian, baik paham pertama yaitu paham
individualisme-liberal maupun paham kedua kolektivisme-sosialis dan komunis
sesungguhnya sama-sama memandang bahwa manusia adalah titik pusat dari semua
aspek kehidupan.
Seperti dikemukakan di atas, yang
dikenal sebagai pemegang kedaulatan dalam sistem kekuasaan bernegara ada Tuhan
(theos), Raja (monarch), Hukum (nomos), atau Rakyat (demos). Konsep yang
menganggap Tuhan sebagai pemegang kedaulatan atau kekuasaan tertinggi disebut
teokrasi. Konsep kedaulatan atau kekuasaan tertinggi oleh hukum disebut
nomokrasi, sedangkan konsep kedaulatan di tangan rakyat disebut demokrasi.
Dalam demokrasi, hanya manusia yang
disebut rakyat saja lah yang dijadikan titik tolak dan pusat perhatian
satu-satunya. Pandangan ini dikenal dengan istilah anthropocentrisme yang
menempatkan kehidupan terpusat hanya pada diri manusia. Dibandingkan masa
sebelumnya, terutama di zaman pra-modern, pandangan yang bersifat
„anthropocentris‟ ini tentu dapat dianggap lebih maju dan lebih baik. Akan tetapi dewasa
ini, orang harus menyadari bahwa demokrasi bukanlah segala-galanya jika sistem
ini ternyata justru menyebabkan umat manusia merusak ekosistem dan sumber
kehidupannya sendiri.
Karena itu, doktrin demokrasi yang
bersifat anthroposentris harus diseimbangkan dengan ekokrasi yang bersifat
ekosentris. Paham antroposentisme harus berada dalam posisi hubungan yang
saling imbangi-mengimbangi (checks and balances) dengan paham ekosentrisme.
Sistim demokrasi yang bersifat “anthropocentris‟ dan mengandaikan
kedudukan sentral rakyat manusia dalam paradigma berpikirnya harus diimbangi
oleh sistim ekokrasi (ecocracy) yang memandang alam semesta berada dalam
hubungan kekuasaan yang seimbang dengan manusia. Alam dan manusia dipandang
sama-sama mempunyai hak dan kekuasaannya sendiri. Alam dan manusia sama-sama
merupakan subjek hak-hak yang bersifat asasi. Karena itu, seperti halnya rakyat
manusia, alam juga memegang kekuasaan yang di bidang atau dalam hal-hal
tertentu juga bersifat tertinggi, sehingga hal itu dapat disebut sebagai
Kedaulatan Lingkungan.
Dewasa ini, istilah demokrasi pun
sudah menjadi semacam bahasa pergaulan yang lazim di seluruh dunia, yang seakan
tanpa sistem demokrasi suatu kehidupan negara ideal yang diimpikan tidak akan
dapat diwujudkan. Padahal, dalam kenyataannya, dengan demokrasi, kerusakan
lingkungan hidup di mana-mana menjadi semakin meluas bersamaan dengan penerapan
demokrasi yang membebaskan manusia untuk berbuat sesuka-hatinya atas nama kemuliaan
hak-hak asasi manusia. Dalam sistem demokrasi sangat diagagungkan adanya
kebebasan manusia, yang dengan bantuan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serba modern menyebabkan manusia dengan mudah dapat menguasai alam,
termasuk untuk mengekploitasinya dalam rangka memenuhi hasrat kemanusiaan yang
cenderung serakah dan tanpa batas.
Dalam alam pikiran sistem demokrasi,
manusia dianggap berada di atas segala-gala. Manusia adalah tuan bagi dirinya
sendiri. Semua gagasan pembangunan bertumpu pada perspektif yang sama, yaitu
paradigma “anthropocentrisme‟ yang memusatkan kehidupan pada diri
manusia. Sebagai akibat dari cara berpikir demikian, maka jadilah manusia
menganggap dirinya sendiri berada di atas segala-galanya yang dapat
mengeksploitasi alam dengan sesukanya sendiri. Karena itulah, dengan cara yang
ekstrim dan provokatif, dengan maksud untuk menggugah, kita dapat mengatakan
bahwa kerusakan alam yang terjadi dimana-mana dewasa ini pada pokoknya
disebabkan oleh penerapan sistem demokrasi yang luas di seluruh dunia.
Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dimana-mana dewasa ini, disebabkan oleh
demokrasi yang tidak diiringi dan diimbangi secara memadai oleh kesadaran
mengenai pentingnya keseimbangan ekologis dalam hubungan antara manusia dengan
alam sekitar dan bahkan dengan alam semesta. (alenia pertama s.d
alenia ke sepuluh, dicomot dari “GAGASAN KEDAULATAN LINGKUNGAN: DEMOKRASI
VERSUS EKOKRASI, Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH).
Dapat disimpulkan bahwa hak
konstitusional warga negara ialah HAM yang dimuat seuai perubahan kedua UUD NRI
1945 di Bab XA Hak Asasi Manusia, yang meluputi Pasal 28A hingga 28J.
Meskipun demikian hak konstitusional
tidak selalu identik dengan HAM. Hal ini dapat dilihat pada hak setiap warga
negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan, hak ini tidak berlaku pada
orang yang bukan warga negara. Oleh karena itu, hak konstitusional berlaku bagi
warga negara yang memenuhi syarat menurut hukum sebagai warga negara. Hal ini
berbeda dengan hak asasi yang berlaku secara universal.
Hak konstitusional juga berkenaan
akan hak asasi manusia. Oleh karena itu dalam menegakkan hak asasi yang menjadi
bagian hak konstitusional warga negara maka mekanisme ini dapat ditempuh oleh
warga negara yang merasa hak asasi manusianya telah dilanggar oleh karena itu
ia dapat menempuh upaya ini dalam mempertahankan hak-haknya yakni hak asasinya
yang terkandung dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Hal ini terkait juga atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi dalam proses
perjalanan ketatanegaraan Indonesia.
Hak konstitusional warga negara
merupakan hak yang diberikan oleh negara yang diberikan oleh karena status
kewarganegaraan yang terlegitimasi dalam UUD 1945. Hak ini merupakan hasil
legitimasi yang diakui dalam konstitusi maupun peraturan perundang-undangan
lainnya. Dapat dikatakan hak konstitusional merupakan hak warga negara.
Hak warga negara merupakan hak yang
diberikan oleh negara atas status kewarganegaraan yang menurut peraturan
perundang-undangan. Di dalam hak warga negara disamping hak konstitusional,
terdapat hak sipil. Hak sipil merupakan hak yang diberikan dan dijamin dalam
peraturan perundang-undangan di luar konstitusi yang diberikan oleh negara oleh
karena status kewarganegaraan seseorang.
Sejak berdirinya Negara Republik
Indonesia, Indonesia telah mengakui dan menghormati hak konstitusional.
Penghormatan tersebut ditemukan dalam Pancasila sebagai ideologi atau pandangan
dasar negara Indonesia. Dalam sila ke-2 yang menyatakan : Kemanusiaan yang adil
dan beradab serta sila ke-5 yang menyatakan : Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Bertolak dari kedua sila tersebut
bahwa dalam penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia harus melihat nilai
kemanusiaan yang terdapat di dalam diri manusia yang merupakan hal yang kodrati
yang melekat pada diri manusia sejak dilahirkan di dunia ini. Penghormatan
nilai kemanusiaan ini diaplikasikan ke dalam setiap tindakan pemegang kekuasaan
negara. Oleh karena itu, warga negara harus diperlakukan secara beradab oleh
pemegang kekuasaan negara. Bentuk penghormatan tersebut harus mencerminkan
keadilan yang mana keadilan tersebut mencakup seluruh aspek sosial masyarakat.
Pengakuan hak konstitusional mengisyaratkan
adanya pemenuhan hak konstitusional warga negara. Pemenuhan hak konstitusional
warga negara dituangkan dalam UUD 1945 sebagai aturan dasar negara. Pemenuhan
hak konstitusional warga negara dimuat dalam Pasal 27 hingga Pasal 32 UUD 1945,
terlebih lagi dalam pasal 28 A Hingga Pasal 28 J.
Pemenuhan hak tersebut merupakan
jaminan hak warga negara yang mana harus dijunjung tinggi dalam penyelenggaraan
kekuasaan negara. Semua bentuk kebijakan ataupun Produk hukum yang dibuat oleh
pemegang kekuasaan negara tidak dapat mengesampingkan hak yang termuat dalam
UUD 1945. Pemenuhan hak tersebut sebagai bentuk tindak lanjut dari penghormatan
hak konstitusional warga negara.
Keberadaan hak konstitusional
sebagai batasan tindakan pemegang kekuasaan negara dalam penyelenggaraan negara
yang berhadapan atas hak konstitusional warga negara bermuara pada satu titik
yakni bagaimana hak itu dijamin oleh negara melalui pengaturan dalam konstitusi.
Salah satu acuan dalam menentukan apakah telah terselenggaranya penjaminan hak
konstitusional warga negara ialah adanya mekanisme hukum yang tegas dalam
melindungi hak konstitusional warga negara dari tindakan pemegang kekuasaan
negara dalam praktik kehidupan bernegara.
Perlindungan hak konstitusional
melalui mekanisme pengadilan guna mempertahankan hak konstitusionalnya dari
tindakan pelanggaran yang mencederai hak konstitusional tersebut yang dilakukan
pemegang kekuasaan negara.
Pengadilan tata negara di Indonesia
yang dimaksud yakni Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara dalam bidang
yudikatif yang mempunyai kompetensi mengadili pengujian konstitusionalitas
undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 sebagai
upaya tegaknya hak konstitusional warga negara atas kelalaian pemegang
kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam menyusun undang-undang yang
menyebabkan tercederainya hak konstitusional warga negara.
Meskipun demikian, perlindungan
dalam sistem peradilan ini tidak hanya terkait atas perlindungan hak
konstitusional warga negara (dalam kaitan status kewarganegaraan tersangka)
namun juga menyangkut hak-hak asasi manusia yang perlindungannya diakui secara
universal.
Selain melalui proses pengadilan,
mekanisme hukum yang dapat ditempuh dalam mempertahankan hak konstitusional
warga negara dapat ditempuh melalui jalur diluar pengadilan. Wujud dari
perlindungan tersebut berupa institusi yang dibentuk berdasarkan maksu
pembentukan, wewenang serta aktifitasnya. Institusi itu antara lain : a.
Ombudsman Republik Indonesia; b. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; c. Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban. (alenia kesebelas s.d alenia kedua
puluh empat, dicuplik bebas dari Bab II Hak Konstitusional Warga Negara, USU).
SIMPUL SEDERHANA
Ditambah dengan pembelajaran dari pengalaman
periodeisasi presiden pertama s.d presiden keenam, sudah ada kesimpulan akurat.
Sebagai warga negara yang benar dan baik, tidak mungkin akan mengulang
kesalahan dan dosa yang sama. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar