Ya Allah, Semoga
Indonesia Mengenal Rakyatnya
Namanya ‘rakyat’, seolah menjadi
beban setiap pemerintahan yang pernah ada di NKRI. Masih hangat di media massa
pasca Ramadhan 1439H, pelayaran rakyat menjadi sumber berita dan derita. Tanggung
rèntèng bergulir.
Semboyan pro-rakyat semakin
membuktikan fakta sebaliknya. Rakyat bisa dimarginalkan demi kepentingan
penguasa. Di lokasi yang seolah tak bertuan atau yang mana dimana pengusaha
menjadi penguasa setempat. Hukum rimba berlaku total.
Pembangunan nasional seolah
memposisikan rakyat sebagai permanent underclass. Tak ada kaitannya
sebagai dasar rancangan untuk menarik utang luar negeri.
Pasal demografi menetapkan rakyat
miskin sebagai kelompok masyarakat kurang beruntung. Secara politik, rakyat
yang tak bisa dididik untuk menggunakan hak pilihnya secara baik dan benar
(sesuai skenario pihak tertentu), mendapat stigma sebagai uneducated people.
Eksistensi, keberadaan pasar tradisional
secara ekonomi, untuk membuktikan telah merebaknya golongan masyarakat
menegah-ke atas. Daya beli dan daya belanja serta gaya hidup, jauh di atas
rata-rata nasional.
Partai politik yang merasa merakyat,
hanya mengundang tawa hambar rakyat. Ingat modus politik penjajah asing,
khususnya Belanda, dengan meninabobokan rakyat. Pejabat dielus-elus agar manut miturut. Loyal total kopral kepada
majikan, juragan, bandar, investor politik. Itu doeloe. Sekarang . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar