mengapa kudatangi
mushola terdekat
Lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian yang dibangun dalam bentuk cluster, membentuk dinamika kehidupan yang khas, spesifik. Aspek jumlah unit, bisa
terdiri atas beberapa RT (Rukun Tetangga) dan bahkan layak disebut satu RW
(Rukun Warga).
Tipe rumah, berdasarkan
luas tanah, bisa masuk kategori tipe kecil. Pemanfaatan lahan yang optimal
serta rumah layak dan siap huni. Harga jualnya bukan nilai lecil.
Ikhwal mempunyai prasarana,
sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain, sudah
dipikirkan oleh pengembang.
Tepatnya, mengacu UU
1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, sesuai kebutuhan warga di
dalam cluster. Selain ada Balai RW, lapangan atau tuang terbuka hijau. Kesepakatan warga,
dibangunlah mushola. Masjid di bangun sebagai fasilitas untuk semua cluster dan lingkungan.
Dipastikan kegiatan
mushola, minimal untuk tempat berjamaah sholat 5 (lima) waktu. Didukung pengurus
yang memakmurkan mushola.
Kita melangkahkan kaki
ke masjid, setiap langkah ada catatan amalnya. Pahalanya. Dianjurkan pulang
dengan rute yang tak sama. Berjumpa dengan warga yang lain. Silaturahim dengan
tebar senyum sapa, salam.
Pertimbangan kalau
sholat jumat, utamakan ke masjid. Jumpa jamaah yang melimpah. Kendati mushola,
sesuai syaratnya bisa untuk jumatan.
Kalau bukan warga cluster yang menghidupkan mushola, siapa lagi. Ambil jalan tengah. Solusi bijak,
cara moderat. Sholat subuh ke masjid. Jalan kaki sehat. Soal > 1km bukan
masalah. Udara masih segar. Sebagian besar pengguna jalan adalah penghuni cluster atau tamu.
Permukiman baru biasanya
dihuni pasangan baru atau yang sudah mempunyai anak balita. Cluster yang terkadang saya huni, sudah masuk decade kedua. Sudah mulai ada pergerakan
hiruk pikuk anak didik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar