Tanak Nasi Selagi Isteri
di Rumah
Bukan mitos, bukan sulap. Bukan
rekayasa sosial, bukan adegan ulang. Menjadi kejadian perkara sehar-hari atau
harian. Waktu kejadian sesuai kebutuhan. Tidak ada jadwal resemi. Murni kehidupan
dalam rumah tangga. Tanpa campur tangan atau bumbu penyedap, hanya bahan
pelengkap pendongkrak energi dan stamina.
Tarik ulur kepentingan atau demi
kepentingan pihak terlibat yang layak dianggap lebih penting. Bukan adu
kepentingan. Kejadian perkara bukan sengaja dilakukan dan diulang setiap kondisi
tertentu.
Sebagai modul dasar. Bersifat
dinamis sesuai perjalanan waktu. Bisa kembali ke nilai tawar dasar.
Nyaris lupa. Setiap rumah tangga,
keluarga, akan melakukan hal ini. Beda dapur, beda gocèkan bola. Beda resep,
beda menu, sama-sama masuk perut. Ganjal atau pengisi perut. Diburu saat
keroncongan mengusik hati nurani. Mau jajan, kata bapak-bapak, takut razia
Satpol PP.
Hak asasi manusia, menjadikan urusan
keluarga, urusan rumah tangga tak tergantung gender, tugas dan fungsi anggota
keluarga. Menyangkut kepentingan perut semua umat penghuni rumah tinggal, taka
da siap berbuat apa. Siapa saja wajib tindak turun tangan. Tidak perlu saling
menyalahkan.
Asas agar kendil tak ngguling,
menjadi acuan utama. Siapa yang paling giat sebagai pemakan, otomatis harus
menyediakan santapan porsi keluarga.
Utamakan sarapan, agar kerja tak
loyo dan tahan sampai siang. Mana sempat sarapan, bawa sebagai bekal. Tak perlu
pakai gengsi.
Awal kehidupan pagi, ditandai tanak
nasi untuk sarapan. Siapa yang berbuat, harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Jangan sampai nasi mletis, kurang air. Kelamaan nangkring di
kompor gas, beraroma sangit dan memang gosong.
Penyuka intip atau kerak nasi, lain
pasal. Penggemar tajin untuk adonan susu manis. Siapa pelakunya. Kalau bukan
siapa-siapa. Saksikan langsung di tempat kejadian perkara dan urusan rumah
tangga, keluarga.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar