Halaman

Rabu, 04 Juli 2018

suara rakyat vs tangan penguasa


suara rakyat vs tangan penguasa

Garam di laut bisa koalisi dengan asam di gunung. Kapan saja, dimana saja di semua tataran dan tatanan urusan perut.

Di Nusantara ini yang tampaknya tak mungkin bisa jadi mungkin. Ironis binti miris, yang secara konseptual, digagas, dirancang nantinya akan menjadi satu kesatuan. Praktik di lapangan menjadi bertolak belakang. Menjadi dua kutub yang berseberangan.

Herannya, bukan karena bodoh malah dipelihara. Ini fakta sejarah. Tepatnya, hukum politik.

Bukan salah fenomena terjadi strata sosial, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga atau klasifikasi warga negara. Senjata makan tuan atau kurang sajèn. Serba mungkin. Asas keseimbangan, satu suara bisa menentukan bobot, berat, kadar. Satu kilogram (1kg), hanya kurang satu gram (1gr), tidak bisa disebut 1kg atau 1000 gr.

Peningkatan, ada yang menjadi dasar, pondasi, landasan. Paling atas, apapun sebutannya, yang nyata eksis. Menjadi simbol, kepala, tetenger.

Keseimbangan dalam peningkatan, menjadikan pihak yang merasa ditingkatkan menjadi lupa diri. Bukan merasa ditingkatkan. Merasa berkat potensi diri dan daya juang diri, bisa menempati peringkat yang mengerucut.

Artinya, sistem perinngkat yang ditentukan oleh banyaknya suara pemilih, menjadikan sang oknum jumawa, besar kepala. Tepuk dada, unjuk gigi. Berkacak pinggang semakin tinggi.

Tidak harus meniti dari anak tangga paling bawah, dekat tanah. Tidak harus mulai dari ‘0’ (nol) karena warisan leluhur. Tidak harus merangkak tahap demi tahap. Kalau bisa main salip dan saling libas, mengapa tidak.

Akhirnya pihak yang terdongkrak sampai puncak piramida, serta merta melupakan jasa dan keringat yang memang selalu di bawah. Mereka hanya sebagai pendorong. Sebagai batu pijakan. Mereka hanya dibutuhkan suaranya saat pesta demokrasi. 5 menit selama untuk 5 tahun. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar