suara rakyat vs tangan
penguasa
Garam di laut bisa koalisi dengan
asam di gunung. Kapan saja, dimana saja di semua tataran dan tatanan urusan
perut.
Di Nusantara ini yang tampaknya tak
mungkin bisa jadi mungkin. Ironis binti miris, yang secara konseptual, digagas,
dirancang nantinya akan menjadi satu kesatuan. Praktik di lapangan menjadi
bertolak belakang. Menjadi dua kutub yang berseberangan.
Herannya, bukan karena bodoh malah
dipelihara. Ini fakta sejarah. Tepatnya, hukum politik.
Bukan salah fenomena terjadi strata
sosial, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga atau klasifikasi
warga negara. Senjata makan tuan atau kurang sajèn. Serba mungkin. Asas keseimbangan,
satu suara bisa menentukan bobot, berat, kadar. Satu kilogram (1kg), hanya
kurang satu gram (1gr), tidak bisa disebut 1kg atau 1000 gr.
Peningkatan, ada yang menjadi dasar,
pondasi, landasan. Paling atas, apapun sebutannya, yang nyata eksis. Menjadi
simbol, kepala, tetenger.
Keseimbangan dalam peningkatan,
menjadikan pihak yang merasa ditingkatkan menjadi lupa diri. Bukan merasa
ditingkatkan. Merasa berkat potensi diri dan daya juang diri, bisa menempati
peringkat yang mengerucut.
Artinya, sistem perinngkat yang
ditentukan oleh banyaknya suara pemilih, menjadikan sang oknum jumawa, besar
kepala. Tepuk dada, unjuk gigi. Berkacak pinggang semakin tinggi.
Tidak harus meniti dari anak tangga
paling bawah, dekat tanah. Tidak harus mulai dari ‘0’ (nol) karena warisan
leluhur. Tidak harus merangkak tahap demi tahap. Kalau bisa main salip dan
saling libas, mengapa tidak.
Akhirnya pihak yang terdongkrak
sampai puncak piramida, serta merta melupakan jasa dan keringat yang memang
selalu di bawah. Mereka hanya sebagai pendorong. Sebagai batu pijakan. Mereka
hanya dibutuhkan suaranya saat pesta demokrasi. 5 menit selama untuk 5 tahun. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar