Islam Nusantara,
mayoritas merasa diri anak bawang
Oleh karena bumbu dapur yang bernama bawang, sudah
masuk klas dan kualitas impor. Makanya, jati diri, ditra diri, pesona diri bawang
bisa mengalahkan langkah modus politik ‘dagang sapi’.
Disinyalir oleh sejarah dunia, bahwasanya NKRI
masih, sedang, selalu dan akan menjadi negara berkembang tanpa mengenal musim.
Sejarah nasional mencatat fakta lain. Perasaan sebagai
warga negara klas II, masyarakat papan bawah, rakyat jelata atau rasa inférior,
masih merajai jiwa anak bangsa pribumi.
Klas pribumi yang sudah berdasi pun, masih canggung
dengan tampilan diri. Pada acara hajatan, kalau tidak dipersilahkan duduk di
depan, di kursi VIP, merasa tersinggung. Namun tatkala dipersilahkan duduk di
tempat yang sudah disediakan – sesuai pangkat dan jabatan – malah milih lèsèhan.
Biar dikira dekat dan milik rakyat. Merakyat.
Perkembangan peradaban umat manusia religius tergantung
iklim dan suhu politik. Politik Islam atau partai politik dakwah, merasa rendah
diri untuk tampil di semua lini. Maunya duduk manis di bangk cadangan. Atau lebih
nyaman menjadi tukang keplok, juru sorak, penggembira.
Di pihak lain, maraknya modus politik berbasis séktarianisme,
rasialisme maupun diskriminasi,
radikalisasi, kriminalisasi Islam, agama Islam dan umat Islam, bukan menjadi
lampu kuning. Umat Islam malah sibuk dengan berdalil-ria. Sebagai pengaman
diri. Bukan menjaga semangat ukhuwah. Sibuk dengan simbol-simbol dunia. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar