Dilema Anggota
DPR, Kebijakan Partai vs Tantangan Zaman
Aneka kasus,
pasal hukum, tindak kriminal, maupun sanksi moral, sanksi sosial yang menimpa
wakil rakyat, semakin membuktikan sinyalemen bahwa ternyata kepentingan diri
sendiri lebih dominan.
Wakil rakyat,
orang partai tulen atau karena faktor lain, misal nilai jual, elektabilitas,
popularitas, potensi diri, pesohor, personal branding diharapkan dalam satu
barisan yang kokoh. Antara wakil rakyat beda partai politik, bersinergi. Tak
semudah angan-angan.
Internal partai, ajang
kompetisi bebas. Ketua umum, elit partai, pemilik partai saja yang seolah
berhak mikir. Sisanya sebagai pelaksana yang taat asas. Siap ditempatkan
sebagai apa saja. Kontribusi kepada partai sebagai penentu kebijakan partai.
Ironis binti
miris, cerdas idelogi bukan faktor penentu untuk digadang, diusulkan oleh
partai ikut pesta demokrasi. Begitu argo wakil rakyat resmi bergulir, arogansi
atau kebijakan partai resmi berdetak, berdetik.
Kadar daya
ideologi yang tersurat maupun tersirat pada kinerja, pernyataan, dan sikap
politik dari anggota maupun pimpinan DPR, atau DPR secara keseluruhan, formalitas
politik.
Urusan penduduk,
secara administratif diawali di tingkat RT, RW atau sebutan lainnya. Awal
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berbasis kerukunan, paguyuban,
gotong royong mulai dirasakan di tingkat RT, RW.
Bukan berarti wakil
rakyat tingkat kabupaten/kota, hanya terima jadi permasalahan mendasar rakyat.
Bagaimana dengan DPRD provinsi. Apalagai DPR RI yang semakin “jauh” dari
rakyat.
Fakta
mentuntaskan penyakit lama, kala pelaksanaan fungsi DPR (legislasi, anggaran, pengawasan
atau LAP) memang tata niaga politik. Politik zig-zag menghadapi tantangan
zaman. Rakyat sebagai pemilik masa depan bangsa dan negara, malah yang menjadi
penjaga wakil rakyat. Agar jangan sampai turun di tengah jalan. Bergulir sampai
garis akhir.
Adab persatuan
Indonesia, nyaris tidak terasa adanya entitas yang berfungsi menjembatani
rakyat dengan pemerintah. Pemerintah peka dengan gejolak berbasis SARA. Santai
menerapkan jurus pasal makar, anti-Pancasila.
Struktur piramida
bentuk dan praktik pemerintahan, bukan tanpa efek domino. Rakyat menerima beban
merata, tepatnya sebagai pendukung total dan loyal NKRI. Banyaknya provinsi,
sebaran populasi, demografi menunjukkan peta multiguna, multimanfaat dan
multitafsir.
Sebagai negara
kepulauan, bentuk pemerintahan apapun tetap menjurus ke negara multipartai,
multipilot. Struktur sipil atau
institusi modern, hanya untuk mempertahankan kekuasaan di pihak tertentu.
Bukan salah fenomena terjadi strata
sosial, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga atau klasifikasi
warga negara. Namanya ‘rakyat’, menjadi ‘beban mati’ setiap pemerintahan. Pasca
Ramadhan 1439H, pelayaran rakyat menjadi sumber berita dan derita. Tanggung
rèntèng bergulir.
Semboyan pro-rakyat
semakin membuktikan fakta sebaliknya. Rakyat bisa dimarginalkan demi
kepentingan penguasa. Di lokasi yang seolah tak bertuan atau yang mana dimana
pengusaha menjadi penguasa setempat. Hukum rimba berlaku total kopral. Bersaing
atau bersinergi dengan pemerintah bayangan ala dinasti politik.
Pembangunan nasional memposisikan
rakyat sebagai permanent underclass. Tak ada kaitannya
sebagai dasar rancangan untuk menarik utang luar negeri.
Pasal demografi
menetapkan rakyat miskin sebagai kelompok masyarakat kurang beruntung. Secara
politik, rakyat yang tak bisa dididik untuk menggunakan hak pilihnya secara
baik dan benar (sesuai skenario pihak tertentu), mendapat stigma sebagai uneducated people.
Struktur piramida bentuk
dan praktik pemerintahan di NKRI, bukan tanpa efek domino. Rakyat menerima
beban merata, tepatnya sebagai pendukung total dan loyal NKRI. Banyaknya
provinsi, sebaran populasi, demografi menunjukkan peta multiguna, multimanfaat
dan multitafsir. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar