Halaman

Selasa, 17 Juli 2018

Dilema Anggota DPR, Kebijakan Partai vs Tantangan Zaman


Dilema Anggota DPR, Kebijakan Partai vs Tantangan Zaman

Aneka kasus, pasal hukum, tindak kriminal, maupun sanksi moral, sanksi sosial yang menimpa wakil rakyat, semakin membuktikan sinyalemen bahwa ternyata kepentingan diri sendiri lebih dominan.

Wakil rakyat, orang partai tulen atau karena faktor lain, misal nilai jual, elektabilitas, popularitas, potensi diri, pesohor, personal branding diharapkan dalam satu barisan yang kokoh. Antara wakil rakyat beda partai politik, bersinergi. Tak semudah angan-angan.

Internal partai, ajang kompetisi bebas. Ketua umum, elit partai, pemilik partai saja yang seolah berhak mikir. Sisanya sebagai pelaksana yang taat asas. Siap ditempatkan sebagai apa saja. Kontribusi kepada partai sebagai penentu kebijakan partai.

Ironis binti miris, cerdas idelogi bukan faktor penentu untuk digadang, diusulkan oleh partai ikut pesta demokrasi. Begitu argo wakil rakyat resmi bergulir, arogansi atau kebijakan partai resmi berdetak, berdetik.

Kadar daya ideologi yang tersurat maupun tersirat pada kinerja, pernyataan, dan sikap politik dari anggota maupun pimpinan DPR, atau DPR secara keseluruhan, formalitas politik.

Urusan penduduk, secara administratif diawali di tingkat RT, RW atau sebutan lainnya. Awal kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berbasis kerukunan, paguyuban, gotong royong mulai dirasakan di tingkat RT, RW.

Bukan berarti wakil rakyat tingkat kabupaten/kota, hanya terima jadi permasalahan mendasar rakyat. Bagaimana dengan DPRD provinsi. Apalagai DPR RI yang semakin “jauh” dari rakyat.

Fakta mentuntaskan penyakit lama, kala pelaksanaan fungsi DPR (legislasi, anggaran, pengawasan atau LAP) memang tata niaga politik. Politik zig-zag menghadapi tantangan zaman. Rakyat sebagai pemilik masa depan bangsa dan negara, malah yang menjadi penjaga wakil rakyat. Agar jangan sampai turun di tengah jalan. Bergulir sampai garis akhir.

Adab persatuan Indonesia, nyaris tidak terasa adanya entitas yang berfungsi menjembatani rakyat dengan pemerintah. Pemerintah peka dengan gejolak berbasis SARA. Santai menerapkan jurus pasal makar, anti-Pancasila.
Struktur piramida bentuk dan praktik pemerintahan, bukan tanpa efek domino. Rakyat menerima beban merata, tepatnya sebagai pendukung total dan loyal NKRI. Banyaknya provinsi, sebaran populasi, demografi menunjukkan peta multiguna, multimanfaat dan multitafsir.

Sebagai negara kepulauan, bentuk pemerintahan apapun tetap menjurus ke negara multipartai, multipilot.  Struktur sipil atau institusi modern, hanya untuk mempertahankan kekuasaan di pihak tertentu.

Bukan salah fenomena terjadi strata sosial, klas masyarakat, kasta penduduk, kategori keluarga atau klasifikasi warga negara. Namanya ‘rakyat’, menjadi ‘beban mati’ setiap pemerintahan. Pasca Ramadhan 1439H, pelayaran rakyat menjadi sumber berita dan derita. Tanggung rèntèng bergulir.

Semboyan pro-rakyat semakin membuktikan fakta sebaliknya. Rakyat bisa dimarginalkan demi kepentingan penguasa. Di lokasi yang seolah tak bertuan atau yang mana dimana pengusaha menjadi penguasa setempat. Hukum rimba berlaku total kopral. Bersaing atau bersinergi dengan pemerintah bayangan ala dinasti politik.

Pembangunan nasional memposisikan rakyat sebagai permanent underclass. Tak ada kaitannya sebagai dasar rancangan untuk menarik utang luar negeri.

Pasal demografi menetapkan rakyat miskin sebagai kelompok masyarakat kurang beruntung. Secara politik, rakyat yang tak bisa dididik untuk menggunakan hak pilihnya secara baik dan benar (sesuai skenario pihak tertentu), mendapat stigma sebagai uneducated people.

Struktur piramida bentuk dan praktik pemerintahan di NKRI, bukan tanpa efek domino. Rakyat menerima beban merata, tepatnya sebagai pendukung total dan loyal NKRI. Banyaknya provinsi, sebaran populasi, demografi menunjukkan peta multiguna, multimanfaat dan multitafsir. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar