angka kemiskinan semakin
turun, maka ULN semakin naik
Judul di atas, memang bahasa statistik. Hasil
survei bukan ala modus lembaga survei pesta demokrasi. Miskin adalah keluarga di
bawah garis kemiskinan resmi. Rentan
adalah mereka yang hidup di antara garis kemiskinan dan 1,5 kali garis itu.
Masyarakat miskin, rumah tangga miskin (RTM),
keluarga miskin atau pra-sejahtera serta atribut lain. Masyarakat miskin sudah
didudukperkarakan oleh BPS sebagai masyarakat kurang
beruntung. Semua ini, plus komunitas, kelompok lainnya masuk kategori
termarginalkan.
Efek domino perokok aktif dari RTM adalah secara
tak sadar telah mengorbankan biaya untuk pendidikan anak, kesehatan diri
sendiri maupun keluarga serta gizi keluarga. Selain faktor kadar dan daya
edukasi sang perokok, ditambah, diperparah bahwa mereka atau RTM menjadi
sasaran empuk kampanye industri rokok. Pariwara suara maupun gambar bahwa ‘rokok dapat membunuhmu’ malah membuai sebagai anjuran untuk merokok
secara terang-terangan. Membuat adrenalin kejantanan tertantang hidup-hidup.
Kembali ke wajah miskin bangsa. Secara politis
muncul stigma uneducated people. Kelompok ini muncul di medsos sebagai
loyalis buta penguasa. Bahasa yang dipakai menunjukkan isi perut dan kadar
otaknya.
Stigma permanent underclass diterakan pada
masyarakat yang tak mau diajak main bersama. Lokasi yang semakin sulit
dijangkau, kendati ada tol laut. Buat susah negara.
Lingkaran setan kemiskinan di negara multipartai,
semakin kesetanan. Tergantung setan yang sedang kontrak politik. Setan lokal,
sudah tak ampuh lagi. Mudah ditebak kemana arah gocekan bola di kakinya. Setan impor,
menjadi andalan dan primadona.
Program dan kegiatan penurunan angka kemiskinan,
diformat sesuai skenario. Justru kalau masih miskin bisa untuk meningkatkan
utang luar negeri. Jika angka kemiskinan turun nyata tiap tahun anggaran, tahun
kalender, maka akan berbanding lurus dengan terlunasinya ULN.’[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar