adonan menu politik
Nusantara, bantat vs lembék
Niat dan minat mengapa anak bangsa pribumi
berpolitik, masuk dunia politik. Sederhana dan terukur. Mewujudkan angan-angan,
fantasi politik yang bersifat individual, pribadi.
Cita-cita mulianya, dengan asumsi jika menyandang
berhala reformasi 3K (kuasa, kaya, kuat) serta merta anak menjadi manusia
bermanfaat bagi semua umat. Jabatan politik menjadi raihan utama.
Manusia politik model ini, kebanyakan sebagai
pewaris, penindak lanjut usaha keluarga. Asas family system, dinasti politik, trah darah ideologi. Tidak mulai dari nol. Tidak model
merintis dari bawah, merangkak. Tidak pakai istilah pemula. Nepotisme dalam
syahwat politik, bukan hal yang tabu.
Tidak perlu modal keringat sendiri, apalagi prihatin,
tirakat sejak dini. Biaya politik, mahar politik, politik bagi hasil, dinasti
politik, bukti ringan kalau jabatan bisa dibeli. Jabatan politik, sampai kepala
begara ada tarif dasarnya. Tarif jadi tidak bisa sekedar mengandalkan modal berdiri
di atas kaki sendiri.
Menu polilik ‘Nasakom’ olahan presiden pertama RI
yang disederhanakan oleh penguasa tunggal Orde Baru menjadi 2 parpol dan 1
Golkar. Membuktikan bahwa anak cucu ideologis tak akan mati. Tak ada kapoknya. Muncul
di tubuh manapun, siapapun. Tinggal menunggu cuaca dan suhu politik yang
menguntungkan.
Pasca pendaftaran paslon capres+cawapres awal
agustus 2018, NKRI bak ada perang dingin. Menjurus ke Bharatayudha ringan. Suhu
politik yang tidak sejuk sudah mulai terasa di tahun politik 2018. Hanya kalah
pamor dengan pilkada serentak rabu 27 Juni 2018, piala dunia bal-balan 2018,
Asian Games XVIII 2018. Bahkan sejak pilkada DKI Jakarta 2017, sjahwat politik
menjadi lepas, bebas tergantung kekuatan pasar.
Bersyukur. Rakyat, khususnya yang akan menggunakan
hak politiknya, sudah mantap dengan pilihan. Termasuk untuk tidak menggunakan
hak pilihnya. Daripada mengkhianati hati nuraninya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar