INDONESIA–ku,
multipartai vs multipilot
Lazimnya sebuah rezim,
tepatnya di éra mégatéga, bukan sekedar menjelma menjadi kezaliman, kelaliman. Maklum.
Memang memang sebegitunya. Sudah sebagai langkah politik yang optimal. Mentok atas
bawah. Jeblok samping. Apalagi tampak depan. Semrawut binti awut-awutan. Pokoké
menang.
Namanya politik. Kalah malah
bangga. Menang malah bingung. Soalnya, kalau kalah bisa pakai pasal amuk massa.
Apalagi kalau disalahkan atau dikritik, bisa pakai asas rata bumi. Semakin lama
berkubang di syahwat politik, semakin licik dan picik. Sejalan dengan dalil
bahwasanya daya ideologi bisa diwariskan ke anak cucu.
Sejalan dengan uraian di
atas, jika keseimbangan syahwat politik terganggu, merembet ke semua fungsi
organ tubuh. Makanya.perlu asupan gizi, nutrisi ideologi klas impor.
Bukan pada banyaknya mulut
rakyat yang masih perlu suapan. Segelintir anak bangsa pribumi, yang berbusana
parpol penguasa, masih wajib disuapi oleh semua pihak. Hidup dari politik. Sampai
CD pun barang inventaris partai.
Cangkir dan lepeknya,
berlogo lambang partai. Sedemikan cinta, loyal dan siaga bela jujungannya. Tanpa
pikir. Siap jibaku.
“Merah kata Bung Karno.
Merah kata KKO”. Hebat kan, itu doeloe.
“Berantas korupsi pekik
Jokowi kegirangan. Eiit, nanti dulu ujar Buaya”. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar