Halaman

Selasa, 03 Juli 2018

menyelamatkan harga diri yang tersisa


menyelamatkan harga diri yang tersisa

Bukannya tak mau berkeringat, peras keringat. Istilah politisnya, berjuang sampai harga diri penghabisan demi uber target. Negara tetangga membuktikan, bahwa usia dan atau umur, bukan menjadi perintang untuk menjadi kuasa negara.

Manusia wajib beribadah. Bukan wajib uber rezeki. Ikhtiar wajib dijalankan dan kasil akhir di tangan-Nya. Manfaatkan waktu dengan sibuk urusan dunia dan rutin jalankan serta utamakan urusan akhirat.

Bercermin diri, mawas diri, evaluasi diri sejak dini, muhasabah karena pergantian waktu adalah akumulasi waktu sehari-semalam. Umat Islam berpatokan pada sholat 5 (lima) waktu. Merasa lambat atau cepatnya bergulirnya waktu, menunjukkan kadar iman. Bukan menghitung mundur waktu ajal dengan persiapan sedini mungkin.

Sifat keluh kesah manusia berbanding lurus dengan watak serakah, rakus, tamak, haus serta merasa tak pernah puas. Tapi memang kelompok ini tampak tak loba, tak kikir, tak pelit. Namanya taktik dan strategi politik.

Jebakan waktu kontrak politik, menjadikan ruang gerak terasa tak nyaman.  Dian biar dikira emas atay teriak garang garing. Serba salah. Pasang aksi seolah akrab dengan rakyat, menjadi cibiran media massa. Tampak akrab dengan tamu asing, semisal menjadi tukang ojek payung. Menjadi bulan-bulanan media massa.

Kalau penguasa berkeringat, memang sudah wewenang dan setumpuk kewajibannya. Demi panggilan tugas apapun, dimanapun, oleh siapapun, memang sesuai honornya. Fasilitas lebih dari memadai dan dinamis. Pasal kontrak politik sudah cetha wéla-wéla.[HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar