menyelamatkan harga diri
yang tersisa
Bukannya tak mau berkeringat, peras
keringat. Istilah politisnya, berjuang sampai harga diri penghabisan demi uber
target. Negara tetangga membuktikan, bahwa usia dan atau umur, bukan menjadi
perintang untuk menjadi kuasa negara.
Manusia wajib beribadah. Bukan wajib
uber rezeki. Ikhtiar wajib dijalankan dan kasil akhir di tangan-Nya. Manfaatkan
waktu dengan sibuk urusan dunia dan rutin jalankan serta utamakan urusan
akhirat.
Bercermin diri, mawas diri, evaluasi
diri sejak dini, muhasabah karena pergantian waktu adalah akumulasi waktu
sehari-semalam. Umat Islam berpatokan pada sholat 5 (lima) waktu. Merasa lambat
atau cepatnya bergulirnya waktu, menunjukkan kadar iman. Bukan menghitung
mundur waktu ajal dengan persiapan sedini mungkin.
Sifat keluh kesah manusia berbanding
lurus dengan watak serakah, rakus, tamak, haus serta merasa tak pernah puas. Tapi
memang kelompok ini tampak tak loba, tak kikir, tak pelit. Namanya taktik dan
strategi politik.
Jebakan waktu kontrak politik,
menjadikan ruang gerak terasa tak nyaman.
Dian biar dikira emas atay teriak garang garing. Serba salah. Pasang aksi
seolah akrab dengan rakyat, menjadi cibiran media massa. Tampak akrab dengan
tamu asing, semisal menjadi tukang ojek payung. Menjadi bulan-bulanan media
massa.
Kalau penguasa berkeringat, memang
sudah wewenang dan setumpuk kewajibannya. Demi panggilan tugas apapun,
dimanapun, oleh siapapun, memang sesuai honornya. Fasilitas lebih dari memadai
dan dinamis. Pasal kontrak politik sudah cetha wéla-wéla.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar