INDONESIA–ku, kursi vs
anak didik
Rivalitas terdekat
presiden dalam hal “rebut kursi” adalah anak didik, murid, siswa sampai mahasiswa. Tata niaga perkursian
di Nusantara memang menjanjikan. Sebagai batu loncatan. Pasca presiden, kepala
negara mau jadi apa. Hanya presiden ketiga RI, tetap eksis dengan
permainannya. Tidak menjadi pecundang, ngrécoki bangsa. Beda dengan pemulung kursi bekas.
(Partai) politik menjadi
satu-satunya mata pencaharian yang tak perlu syarat neko-neko: daya moralitas, aspek santun, rasa sensitivitas,sifat kerakyatan.
Jangan alpa dan lupa
kawan, wong sugih banget, wong sugih tenan bisa mendirikan sebuah partai
politik. Tujuan ideoligis pertama dan utama, adalah mengembangkan dan menjaga
stabilitas kekayaannya. Bukan rasa hiba terhadap nasib rakyat.
Jamak jika di éra mégatéga
ini, muncul parpol bayaran. Modalnya cukup memanfaatkan momentum pasal SARA. Karakteristik
putera asli daerah menjadi jaminan mutu, nilai jual atau daya pikat.
Warisan nyata sifat
feodal, dinasti politik menjadi cara konstitusional menguasai suatu daerah. Membentuk
pemerintah bayangan, pemerintah semu tapi masif. Manuver manusia politik macam
ini, bisa bermain di semua lini. Tampil sebagai apa saja.
Kalah pilkada serentak
tidak jadi soal, bukan masalah. Sudah punya rumus, kiat, resep jaga diri. Menyesuaikan
diri dengan suhu politik. Bukan sekedar mengandalkan asas loyalitas pada kebijakan
partai. Bermain cantik di sela-sela kaki kawan.
Parpol merupakan fungsi
Rp. Tergantung nilai tukar Rp, juga tidak.
Kita tidak tahu mau
kemana lagi ‘anak didik, murid, siswa maupun mahasiswa’ sebuah parpol pasca
wisuda. Bisa juga dijabarkan dari turunan model dan modus mantan presiden. Kembali
ke kampung halaman. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar