Halaman

Kamis, 19 Juli 2018

INDONESIA–ku, kursi vs anak didik


INDONESIA–ku, kursi vs anak didik

Rivalitas terdekat presiden dalam hal “rebut kursi” adalah anak didik, murid, siswa sampai mahasiswa. Tata niaga perkursian di Nusantara memang menjanjikan. Sebagai batu loncatan. Pasca presiden, kepala negara mau jadi apa. Hanya presiden ketiga RI, tetap eksis dengan permainannya.  Tidak menjadi pecundang, ngrécoki bangsa. Beda dengan pemulung kursi bekas.

(Partai) politik menjadi satu-satunya mata pencaharian yang tak perlu syarat neko-neko: daya moralitas, aspek santun, rasa sensitivitas,sifat kerakyatan.

Jangan alpa dan lupa kawan, wong sugih banget, wong sugih tenan bisa mendirikan sebuah partai politik. Tujuan ideoligis pertama dan utama, adalah mengembangkan dan menjaga stabilitas kekayaannya. Bukan rasa hiba terhadap nasib rakyat.

Jamak jika di éra mégatéga ini, muncul parpol bayaran. Modalnya cukup memanfaatkan momentum pasal SARA. Karakteristik putera asli daerah menjadi jaminan mutu, nilai jual atau daya pikat.

Warisan nyata sifat feodal, dinasti politik menjadi cara konstitusional menguasai suatu daerah. Membentuk pemerintah bayangan, pemerintah semu tapi masif. Manuver manusia politik macam ini, bisa bermain di semua lini. Tampil sebagai apa saja.

Kalah pilkada serentak tidak jadi soal, bukan masalah. Sudah punya rumus, kiat, resep jaga diri. Menyesuaikan diri dengan suhu politik. Bukan sekedar mengandalkan asas loyalitas pada kebijakan partai. Bermain cantik di sela-sela kaki kawan.

Parpol merupakan fungsi Rp. Tergantung nilai tukar Rp, juga tidak.

Kita tidak tahu mau kemana lagi ‘anak didik, murid, siswa maupun mahasiswa’ sebuah parpol pasca wisuda. Bisa juga dijabarkan dari turunan model dan modus mantan presiden. Kembali ke kampung halaman. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar