Halaman

Jumat, 13 Juli 2018

INDONESIA–ku, sepak bola vs uber kursi


INDONESIA–ku, sepak bola vs uber kursi

Agaknya, kedua ikhwal di atas, seperti ada korelasi, relasi dan konektivitas. Bukan pada masih satu kasta. Terang dan jelasnya, salah sistem atau salah orang.

Di tingkat ASEAN, terasa sedikit ada beda. Satu klas, beda peringkat. Itu saja. Sama-sama bisa memanfaatkan tenaga asing, diatur oleh UU. Lebih bergensi berdasarkan kesepakatan ASEAN-China.

Ingin tahu kualitas pemain. Dilakukan serentak, per tingkat daerah. Babak final memperebutkan kursi presiden dan piala presiden. Peleburan, pembauran antara kesebelasan dengan partai politik.

Pepolitik bisa merangkap menjadi pesepak bola. Begitu juga sebaliknya, kalau mau. Atau parpol diwakili oleh kesebelasan asuh dan binaannya. Sistem pertandingan bisa dikompromikan sesuai karakter daerah maupun pembagian wilayah atau sistem zonasi.

Periodenya bisa empat tahun sekali, agar tidak tua di daftar tunggu. Kompetisi tahunan tingkat ‘tarkam’ wajib dilakukan sebagai ajang pencarian bakat. Ajang adu gengsi, pamor dan mental. Memeriahkan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.

Intinya, jangan sampai manusia politik alias pepolitik dan atau pesepak bola menganggur. Otak stagnan, menjadi langgan setan.

Akan terlihat, kalau cuma modal nama besar kakek-nenek moyangnya, warisan keluarga, bisa jadi korban kaki lawan. Satu tim belum tentu satu bahasa. Jabatan politis justru berdaya tarik pada basah-keringnya daerah. Beruntung atau tak beruntungnya suatu daerah kabupaten/kota, akan menentukan animo dan kadar kompetisi.

Pemain kawakan masih bisa kerkiprah, berkontribusi, berkompetisi. Kecuali kalau ada batasan usia/umur. Bisa calistung, ayo ikut. Nama tenar, kesohor, punya pamor apalagi jadi sponsor, pendonor itulah yang dicari. Soal gocekan yang biasa-biasa saja, ora opo-opo. Permainan tim. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar