INDONESIA–ku, sepak bola
vs uber kursi
Agaknya, kedua ikhwal di atas,
seperti ada korelasi, relasi dan konektivitas. Bukan pada masih satu kasta. Terang
dan jelasnya, salah sistem atau salah orang.
Di tingkat ASEAN, terasa sedikit ada
beda. Satu klas, beda peringkat. Itu saja. Sama-sama bisa memanfaatkan tenaga
asing, diatur oleh UU. Lebih bergensi berdasarkan kesepakatan ASEAN-China.
Ingin tahu kualitas pemain. Dilakukan
serentak, per tingkat daerah. Babak final memperebutkan kursi presiden dan
piala presiden. Peleburan, pembauran antara kesebelasan dengan partai politik.
Pepolitik bisa merangkap menjadi
pesepak bola. Begitu juga sebaliknya, kalau mau. Atau parpol diwakili oleh
kesebelasan asuh dan binaannya. Sistem pertandingan bisa dikompromikan sesuai
karakter daerah maupun pembagian wilayah atau sistem zonasi.
Periodenya bisa empat tahun sekali,
agar tidak tua di daftar tunggu. Kompetisi tahunan tingkat ‘tarkam’ wajib
dilakukan sebagai ajang pencarian bakat. Ajang adu gengsi, pamor dan mental. Memeriahkan
semangat Proklamasi 17 Agustus 1945.
Intinya, jangan sampai manusia
politik alias pepolitik dan atau pesepak bola menganggur. Otak stagnan, menjadi
langgan setan.
Akan terlihat, kalau cuma modal nama
besar kakek-nenek moyangnya, warisan keluarga, bisa jadi korban kaki lawan. Satu
tim belum tentu satu bahasa. Jabatan politis justru berdaya tarik pada
basah-keringnya daerah. Beruntung atau tak beruntungnya suatu daerah kabupaten/kota,
akan menentukan animo dan kadar kompetisi.
Pemain kawakan masih bisa kerkiprah,
berkontribusi, berkompetisi. Kecuali kalau ada batasan usia/umur. Bisa calistung, ayo ikut. Nama tenar,
kesohor, punya pamor apalagi jadi sponsor, pendonor itulah yang dicari. Soal gocekan
yang biasa-biasa saja, ora opo-opo. Permainan tim. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar