Halaman

Sabtu, 28 Juli 2018

ujaran koalisi tunanetra meraba gajah tentang Islam Nusantara


ujaran koalisi tunanetra meraba gajah tentang Islam Nusantara

Singkat kata. Cekak aos. Padat kalimat. Daripada bertélé-télé melacak asal-muasal istilah Islam Nusantara, Islam tradisional, Islam konvensional. Pakai cara kakek-nenek moyang tapi diyakini manjur. Memakai jasa tunanetra. Bukan untuk pijat. Kepiawaian, kejujuran sebagai ahli meraba dibutuhkan.

Katakan, pihak penguasa sudah menyiapkan seekor gajah. Gajah liar atau bukan, pernah berurusan dengan hukum manusia atau belum, bertaring gading, rekam jejak … tak jadi perkara.

Akhirnya dengan dasar keppres, ditetapkan beberapa WNI berstatus sebagai penyandang tunanetra. Diutamakan yang tunanetra sejak lahir. Soal mewakili gender, usia, status sosial,  sampai partai politik, lupakan. Malah tidak jadi acara perabaan.

Setelah pemilihan dan pemilihan oleh komite perabaan umum, maka dihasilkan: kaki, perut, belalai, gading, telinga, ekor gajah masing-masing hanya akan diraba oleh seorang tunanetra. Tidak bergantian. Waktu yang diberikan sama, atau lihat sikon di lokasi kejadian perkara olah raba.

Dengan catatan, si peraba tidak tahu apa itu gajah, secara nyata, utuh. Pokoknya, hanya menjalankan tugas dengan keahlian meraba.

Akhirnya, tanpa ditunda-tunda. Dirumuskan hasil akhirnya, sesuai urutan perabaan. Rasa syukur atas hasil kerja relawan tunanetra serta sebagai pembelajaran, disimpulkan:

Pertama. Islam Nusantara bagaikan bumbung atau batang kayu. Permukaan agak kasar. Kokoh tegaknya meyakinkan. Enak dipeluk, dielus-elus. Malah bisa ditepuk-tepuk, tanpa bunyi. Si peraba tak tahu, kalau itu kaki gajah. Entah kaki depan, belakang atau kaki kanan, kiri. Dua tangan dilingkarkan, ujung jari si peraba tak bertemu.

Kedua. Islam Nusantara ibarat lembaran tegak. Melebih depa si peraba. Tingginya melebihi jangkauan jari. Soal seberapa ke bawahnya, si peraba tak suka ‘main bawah’. Tetap gelap. Bidang raba yang membuat peraba penasaran. Sampai melotot.

Ketiga. Islam Nusantara memangnya menggelantung. Mengecil ke bawah. Kenyal-kenyal dan tampak konyol di tangan sang peraba. Tidak mulus sekali. Beberapa bentuk yang beda, pada saat dua telapak tangan meraba tempat berbeda. Getaran sama yang muncul, menjadi daya tarik tersendiri. Sulit untuk mengambil kesimpulan nyata.

Keempat, Islam Nusantara rasanya masif. Bahkan tangan si peraba menemukan unsur licin, tapi berteksture lembut. Meruncing ke bawah. Dibandingkan dengan tubuhnya, si peraba tak menemukan persamaan. Kalau bahan, sepertinya mirip giginya. Penasaran, rasanya ingin melihat dengan nyata.

Kelima. Islam Nusantara malah melambai-lambai ke samping. Dalam hati bingung mengatakan benda macam apa ini. Sebagai alat pembungkus, atau penutup. Rasa jujur tetap dominan. Tangan tak bisa dibohongi. Terkesimanya sampai lupa membandingkan dengan yang ada di dirinya.

Keenam. Islam Nusantara dibilang hanya sebegitunya, tidak etis secara politis. Dalam genggaman. Ujungnya berbeda dengan pangkal atau sepanjang ke bawah. Si peraba semakin terheran-heran jika membayangkan, benda apa ini.

Jadi, labelisasi, penamaan, predikatisasi pada Islam, secara politis hanya cari muka, cari aman, cari jabatan.

Ikhwal di atas untuk sekedar menjelaskan, beginilah jadinya kalau melihat agama Islam tidak utuh. Hanya sepotong demi sepotong, seperti hasil rabaan koalisi, kawanan, relawan tunannetra.

Agama Islam, Islam, Umat Islam di Indonesia, sepertinya digerogoti dari dalam. Kadar keilmuan, ilmu formal merasa mampu menterjemahkan agama ke kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat. Derajat ilmu agama, masih sekitar atau berpusat pada tahap studi umum.

Jangan-jangan, setelah “resmi” di e-ktp dengan sebutan Islam Nusantara, Islam tradisional, Islam konvensional . . . dipastikan muncul sholat lima waktu nusantara, haji nusantara. Asal jangan dengan latah dan gagah, berujar: “Nabi Nusantara”. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar