merebus beras bersama
nasi, cepat tanak
Bukan eksperimen kuliner. Bukan untuk urusan perut
main coba-coba. Bukan pratanda zaman. Tidak masalah lelaki masuk dapur. Lelaki memang
pas jadi koki, juru masak. Bukan ambil alih peran ibu rumah tangga, isteri yang
kodratnya sebagai ratu dapur.
Banyak bukannya. Bukan hobi atau panggilan perut. Bukan
sekedar isi waktu luang dengan kegiatan mengenyangkan. Bukan iseng daripada
perut keroncongan tak karuan bunyinya. Bukan uji coba resep tradisional.
Terakhir bukannya, bukan makna filosofis,
filsafati.
Beda dengan sistem pengkarbitan buah. Apalagi dengan
sistem ijon pada tanaman padi.
Pengalaman lain mengatakan, kerupuk yang sudah mlempen, renyahnya menyusut. Dapat bugar kembali jika dimasukkan ke tempat semula,
bercampur dengan kerupuk yang masih belia, segar. Daya rangsang apa yang
menyebabkannya. Analog dengan judul.
Akankah jika anak manusia bangsa pribumi, yang
biasa-biasa saja, berbaur dengan wong luar biasa, terbawa, terdongkrak nasibnya.
Ikut berkibar martabatnya. Terbawa arus menjulang ke atas. Tanpa keringat
sendiri.
Akankah komunitas yang minimalis, tapi benar dan
baik, akan kalah total di lingkungan yang bertolak belakang. Tak perlu
membandingkan dengan praktik demokrasi di negara multipartai.
Akankah perubahan peradaban lebih manjur jika
diawali dari atas. Budaya yang tampak menjanjikan, banyak penganutnya. Tak perlu
sosialisasi, promosi. Sekali tepuk, langsung banyak pihak tersengat. Teraba-abakan.
Ini bukan ‘bukan’ yang terakhir kali, akhirnya
menjadi yang bukan-bukan jika kerak, intip terlanjur menjadi bubur. Menjadi babak belur. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar