Halaman

Senin, 30 Juli 2018

merebus beras bersama nasi, cepat tanak


merebus beras bersama nasi, cepat tanak

Bukan eksperimen kuliner. Bukan untuk urusan perut main coba-coba. Bukan pratanda zaman. Tidak masalah lelaki masuk dapur. Lelaki memang pas jadi koki, juru masak. Bukan ambil alih peran ibu rumah tangga, isteri yang kodratnya sebagai ratu dapur.

Banyak bukannya. Bukan hobi atau panggilan perut. Bukan sekedar isi waktu luang dengan kegiatan mengenyangkan. Bukan iseng daripada perut keroncongan tak karuan bunyinya. Bukan uji coba resep tradisional.

Terakhir bukannya, bukan makna filosofis, filsafati.

Beda dengan sistem pengkarbitan buah. Apalagi dengan sistem ijon pada tanaman padi.

Pengalaman lain mengatakan, kerupuk yang sudah mlempen, renyahnya menyusut. Dapat bugar kembali jika dimasukkan ke tempat semula, bercampur dengan kerupuk yang masih belia, segar. Daya rangsang apa yang menyebabkannya. Analog dengan judul.

Akankah jika anak manusia bangsa pribumi, yang biasa-biasa saja, berbaur dengan wong luar biasa, terbawa, terdongkrak nasibnya. Ikut berkibar martabatnya. Terbawa arus menjulang ke atas. Tanpa keringat sendiri.

Akankah komunitas yang minimalis, tapi benar dan baik, akan kalah total di lingkungan yang bertolak belakang. Tak perlu membandingkan dengan praktik demokrasi di negara multipartai.

Akankah perubahan peradaban lebih manjur jika diawali dari atas. Budaya yang tampak menjanjikan, banyak penganutnya. Tak perlu sosialisasi, promosi. Sekali tepuk, langsung banyak pihak tersengat. Teraba-abakan.

Ini bukan ‘bukan’ yang terakhir kali, akhirnya menjadi yang bukan-bukan jika kerak, intip terlanjur menjadi bubur. Menjadi babak belur. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar