Halaman

Jumat, 13 Juli 2018

INDONESIA–ku, demi sebuah kursi serba dan anéka mégatéga


INDONESIA–ku, demi sebuah kursi serba dan anéka mégatéga

Namanya Indonesia kawan, semakin berpengalaman menyelenggarakan pemilihan umum, malah semakin banyak membuat ‘salah administrasi’. Semakin UU diperbarui dengan seksama sesuai selera penguasa pada periode ybs. Bisa terjadi sebagai titipan dari pihak yang nyata kuasanya.

Proses pesta demokrasi sudah bisa ditebak langkah konstitusionalnya. Tata niaga politik tetap mengandalkan segala cara untuk meraih sebuah kemenangan. Semakin banyak pasal, menunjukkan pelaku pesta demokrasi harus banyak akal.

Praktik akal bulus sampai guna akal-akalan, sebagai alternatif utama. Lebih aman jika sudah sesuai skenario, konspirasi, rekayasa dari investor politik multinasional maupun internasional.

Bagaimana calon pemilih yang tak sesuai peta politik di dapil atau TPS. Pihak dimaksud sudah ahli agar ybs dianggap lalai menggunakan hak pilihnya. Ini kasus recehan, tapi berdaya guna dan berhasil guna.

Kursi wakil rakyat di daerah, khususnya kabupaten kurang beruntung, tetap menggiurkan.

Terjebak di kubangan syahwat politik, menjadi semakin menguasai ilmu kebal. Anti gores, anti lecet, anti kritik. Daya akal, kadar logika, standar nalar politiknya semakin lama, semakin naik strata semakin terbuka. Otomatis, semakin melupakan dirinya siapa. Lupa kalau semuanya dari tanah. Akhirnya, hidup di istana angan-angan. Istana fantasi bak negeri dongeng.

Tidak ada harga eceran tertinggi untuk sebuah tarif uang kursi wakil rakyat maupun harga dasar kursi jadi kepala daerah. Kalau tanya berapa atau paket apa, dianggap biaya politiknya hanya segitunya. Dianggap bertaji kalau mampu memborong (baca: keluar sebagai pemenang tunggal, juara umum dan sekaligus menyingkirkan pesaing, kompetitor).

Manfaatkan momentum uang muka kursi jabatan politis 0%. Soal seberapa kecil cicilan, sanksi angsuran dan biaya terduga, biaya OM. Mengacu asas kelazim mahar politik. Lakukan sambil jalan. Kalau terjadi kejadian luar biasa, seperti biasa partai tak tahu menahu. Lepas tangan dan cuci tangan. Tanggung jawab kader yang sudah susah payah diorbitkan. Memang beda dengan kader yang dikarbit. Lihat pasal dinasti politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar