Halaman

Senin, 23 Juli 2018

INDONESIA–ku, tirakat pejabat vs vonis ideologis


INDONESIA–ku, tirakat pejabat vs vonis ideologis

Bukan mengingatkan, apalagi menetapkan,  memang pernah saya tayangkan  “prihatiné wong Jawa ngluwihi sholat, tirakaté wong Jawa ngungkuli sholat”. Masih ada satu judul yang teronggok di angan-angan: “wong Jawa kok sholat”. Tunggu tanggal mainnya.

Wong Jawa, punya resep, kiat, modus ampuh untuk menjadi orang. Dadi wong. Beruwjud manusia seutuhnya. Konsep jiwa-raga yang manusiawi. Menjadi sakti tanpa aji-aji. Mampu menghilang. Menguasai ilmu melipat bumi. Weruh sakdurungé winarah. Idu geni lan tangan Baladéwa. Sarat ilmu tanpa titel. Itu doeloe, doeloe banget.

Berkat asupan ideologi bebas, dari negeri entah berantah. Ketika pasal ‘benar dan baik’ ditentukan secara mayoritas. Kala kedaulatan mutlak di tangan pemenang pesta demokrasi.

Yang namanya manusia yang bermanfaat bagi semua umat, adalah yang berdiri di palin depan. Sebagai komandan tertinggi. Sebagai pemimpin formal, konstitusional. Tidak perlu melalui proses perintisan, apalagi tirakat sejak dini. Biaya politik, mahar politik, politik bagi hasil, dinasti politik, bukti ringan kalau jabatan bisa dibeli.

Pokoknya, asal sudah bisa duduk di kursi kekuasaan negara. Cukup. Minimal, sesuai syarat administrasi. Kursi wakil rakyat, kursi wakil daerah, kursi kepala daerah sampai kursi kepala negara.

Jangan lupa sobat, di atas kursi tersbut di atas, masih ada kursi yang lebih digdaya, Yaitu kursi oknum ketua umum sebuah partai politik. Efek domino negara multipartai, jelasnya pada negara multipilot. “Pilot” dalam negeri dianggap tidak bisa bersaing, transfer pilot mancanegara, pilot asing.

Karakter pola periode di NKRI, sudah bisa disimpulkan secara bulat. Menjadi acuan negara lain. Tak kurang peran sentral, peran positif, peran nyata Pancasila.

Ironis binti miris, negara lain yang populasinya jauh lebih sedikit. Merdeka setelah NKRI. Punya resep tanpa resep. Revolusi mental diawali dengan niat baik. Cukup dengan bukti. Bahkan ada yang mampu ikut laga, tanding di Piala Dunia Bal-balan, 4 tahun sekali. PSSI sudah, sedang, selalu merintis jalan. Tak heran, jabatan ketum PSSI saking bergengsinya menjadi jabatan politis.

Bersyukur. Rakyat tetap berpeluang meningkatkan hakikat, harkat,  martabat, pangkat, derajat, semat dan jati diri sebagai rakyat yang tahan banting. Eksis di setiap periode. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar