INDONESIA–ku, tirakat
pejabat vs vonis ideologis
Bukan mengingatkan, apalagi menetapkan, memang pernah saya tayangkan “prihatiné wong Jawa ngluwihi sholat, tirakaté
wong Jawa ngungkuli sholat”. Masih ada satu judul yang teronggok di
angan-angan: “wong Jawa kok sholat”. Tunggu tanggal mainnya.
Wong Jawa, punya resep, kiat, modus ampuh untuk
menjadi orang. Dadi wong. Beruwjud manusia seutuhnya. Konsep
jiwa-raga yang manusiawi. Menjadi sakti tanpa aji-aji. Mampu menghilang. Menguasai
ilmu melipat bumi. Weruh sakdurungé winarah. Idu geni lan tangan Baladéwa. Sarat
ilmu tanpa titel. Itu doeloe, doeloe banget.
Berkat asupan ideologi bebas, dari negeri entah
berantah. Ketika pasal ‘benar dan baik’ ditentukan secara mayoritas. Kala kedaulatan
mutlak di tangan pemenang pesta demokrasi.
Yang namanya manusia yang bermanfaat bagi semua
umat, adalah yang berdiri di palin depan. Sebagai komandan tertinggi. Sebagai pemimpin
formal, konstitusional. Tidak perlu melalui proses perintisan, apalagi tirakat
sejak dini. Biaya politik, mahar politik, politik bagi hasil, dinasti politik, bukti
ringan kalau jabatan bisa dibeli.
Pokoknya, asal sudah bisa duduk di kursi kekuasaan
negara. Cukup. Minimal, sesuai syarat administrasi. Kursi wakil rakyat, kursi
wakil daerah, kursi kepala daerah sampai kursi kepala negara.
Jangan lupa sobat, di atas kursi tersbut di atas,
masih ada kursi yang lebih digdaya, Yaitu kursi oknum ketua umum sebuah partai
politik. Efek domino negara multipartai, jelasnya pada negara multipilot. “Pilot”
dalam negeri dianggap tidak bisa bersaing, transfer pilot mancanegara, pilot
asing.
Karakter pola periode di NKRI, sudah bisa
disimpulkan secara bulat. Menjadi acuan negara lain. Tak kurang peran sentral,
peran positif, peran nyata Pancasila.
Ironis binti miris, negara lain yang populasinya
jauh lebih sedikit. Merdeka setelah NKRI. Punya resep tanpa resep. Revolusi mental
diawali dengan niat baik. Cukup dengan bukti. Bahkan ada yang mampu ikut laga,
tanding di Piala Dunia Bal-balan, 4 tahun sekali. PSSI sudah, sedang, selalu
merintis jalan. Tak heran, jabatan ketum PSSI saking bergengsinya menjadi
jabatan politis.
Bersyukur. Rakyat tetap berpeluang meningkatkan hakikat,
harkat, martabat, pangkat, derajat, semat
dan jati diri sebagai rakyat yang tahan banting. Eksis di setiap periode. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar