Halaman

Jumat, 20 Juli 2018

trisakti menu politik Nusantara, mengenyangkan vs menyehatkan vs mencerdaskan

trisakti menu politik Nusantara, mengenyangkan vs menyehatkan vs mencerdaskan

Berkat tangan dingin, hati dingin anak cucu pewaris politik, terjadilah apa yang tak mungkin terjadi. Satu aspek saja sulit dipenuhi. Butuh waktu dan terbukti selama sibuk di syahwat politik, malah semakin jauh. Merasa serba kurang.

Wajar jika jiwanya terkungkung dalam dogma politik. Efek domino yang masih bergulir sesuai alenia pertama, maka ideologi Pancasila terasa rasa impor. ‘Berani’ pada merah sang dwiwarna, berubah makna secara historis.

Hebatnya lagi, merahnya merah menjadikan penganut politik menjadi membabi buta dalam soal loyalitas. Ironis binti miris, pihak yang kecipratan tuah politik, loyalnya total kopral.

Pancasila sakti versi Orde Baru, didaur ulang sebagai alat politik praktis.

Deman Asian Games XVIII 2018 memang kalah pamor dengan demam Piala Dunia 2018. Kalah tenar, kesohor dengan gonjang-ganjing pemilu serentak 2019. Pemerintah atau penguasa menjadi salah tingkah.

Mengenyangkan. Malah membuat KPK gulung tikar. Kaldu politik dengan selera impor sudah tersedia di warung rakyat. Terkait urusan perut, garam Inggris sebagai pencahar sudah ganti merk.

Menyehatkan. Wajah politik penuh dendam. Guratan wajah tampak garang, garong dan garing. Jauh dari rasa sejuk. Tindak tutur kata, aneka ujaran hanya bukti ringan dan meringankan. Obat peringan kata semakin ludes.

Mencerdaskan. Karena politik uber berhala reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) jelas bukan merupakan fungsi daya moralitas, aspek santun, rasa sensitivitas, jiwa ksatria, sifat kerakyatan.

Rakyat selalu berdoa dan punya harapan untuk masa depannya yang sudah mulai tampak . . . [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar