trisakti menu politik
Nusantara, mengenyangkan vs menyehatkan vs mencerdaskan
Berkat tangan dingin, hati dingin
anak cucu pewaris politik, terjadilah apa yang tak mungkin terjadi. Satu aspek
saja sulit dipenuhi. Butuh waktu dan terbukti selama sibuk di syahwat politik,
malah semakin jauh. Merasa serba kurang.
Wajar jika jiwanya terkungkung dalam
dogma politik. Efek domino yang masih bergulir sesuai alenia pertama, maka
ideologi Pancasila terasa rasa impor. ‘Berani’ pada merah sang dwiwarna,
berubah makna secara historis.
Hebatnya lagi, merahnya merah
menjadikan penganut politik menjadi membabi buta dalam soal loyalitas. Ironis binti
miris, pihak yang kecipratan tuah politik, loyalnya total kopral.
Pancasila sakti versi Orde Baru, didaur
ulang sebagai alat politik praktis.
Deman Asian Games XVIII 2018 memang
kalah pamor dengan demam Piala Dunia 2018. Kalah tenar, kesohor dengan
gonjang-ganjing pemilu serentak 2019. Pemerintah atau penguasa menjadi salah
tingkah.
Mengenyangkan. Malah membuat KPK
gulung tikar. Kaldu politik dengan selera impor sudah tersedia di warung
rakyat. Terkait urusan perut, garam Inggris sebagai pencahar sudah ganti merk.
Menyehatkan. Wajah politik penuh
dendam. Guratan wajah tampak garang, garong dan garing. Jauh dari rasa sejuk. Tindak
tutur kata, aneka ujaran hanya bukti ringan dan meringankan. Obat peringan kata
semakin ludes.
Mencerdaskan. Karena politik uber
berhala reformasi 3K (kuasa, kuat, kaya) jelas bukan merupakan fungsi daya
moralitas, aspek santun, rasa sensitivitas, jiwa ksatria, sifat kerakyatan.
Rakyat selalu berdoa dan punya
harapan untuk masa depannya yang sudah mulai tampak . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar