Mabuk Pilpres 2019,
kemiskinan kultural vs kemiskinan struktural
Adalah
sebuah partai politik di Nusantara, melakukan pendidikan politik bagi
anggotanya. Rahasia umum, bukan karena melek politik atau bahkan cerdas
ideologi, seseorang bisa jadi elit parpol.
Sejarah
membuktikan bahwa manfaat utama, nilai guna pertama komplotan manusia politik,
hanya sebagai kendaraan politik. Makanya, presiden kedua RI bisa sukses
menggulirnya Orde Baru. Lebih dari tiga dasawarsa. Tepatnya, keluar sebagai
juara umum 6 (enam) kali pemilu.
Seolah-seolah,
pendidik politik mirip pendidikan vokasi. Pendidikan untuk penguasaan
pengetahuan, keahlian dan keterampilan yang memiliki nilai ekonomis, nilai jual
sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pasar. Penerapan secara dinamis perlu berlanjut,
tidak sekedar melalui adanya jenjang kaderisasi.
Bahan baku
pendidikan politik, agaknya masih jauh dari daya moralitas, aspek santun, rasa
sensitivitas, jiwa ksatria, sifat kerakyatan. Mansuia politik sebagai peserta
didik, hanya dianggap sesuai asas patuh dan taat. Loyalnya harus total kopral. Itupun masih harus
bersaing dengan pemodal atau kawanan pesohor non-partai.
Akhirnya,
petugas partai terbiasa disuapi. Dinonabobokan. Dielus-elus sampai plentas-plentus. Apalagi kalau parpol sebagai usaha keluarga. Oknum
ketua umum sebagai penyandang hak prerogatif.
Struktur
ideologi Nusantara, menampilkan sosok pekerja politik. Bukan petarung bangsa. Kebijakan
pemerintah merupakan resultan dari aneka kebijakan politik. Sistem bagi hasil
atau arisan. Sesuai dengan spesialisasi parpol pro-pemerintah.
Hak politik
rakyat bisa tergerus, terkontaminasi oleh modus, manupulasi, rekayasa politik
penguasa. Doa politik rakyat, menerus, akan terlihat manfaatnya setelah
gonjang-ganjing politik reda. Cuma redup. Suplai tenaga luar, akan semakin
membara jika jagoannya kéok. Pilkada serentak rabu 27 Juni 2018, bukan contoh,
bukan fakta. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar