Halaman

Kamis, 19 Juli 2018

INDONESIA–ku, gejolak jiwa vs perang batin


INDONESIA–ku, gejolak jiwa vs perang batin

Efek domino animasi, film kartun atau produk sejenis, sudah merasuk ke lubuk hati penyelenggara negara. Lupa akan hakikat garam meja. Garam memang kerabat utama bumbu dapur. Tidak dicampur saat masak.

Saat hidangan tersaji, terasa hambar, tambah rasa sesusai selera. Sambal, kecap, garam, cuka bisa diimbuhkan sebagai penyedap. Pihak lain, kucing zaman now, sudah meninggalkan peradabannya. Tidak ada yang berani menduga, kucing garong yang tampil terang benderang, di luar karung.

Bisa jadi, bukan kucing bawaan nabi Nuh a.s.

Sing rugi kucing”, sudah tidak berlaku di syahwat politik menu dan racikan Nusantara. Mantan napi, bekas warga binaan lapas, rutan dan ikhwal lainnya, menunjukkan jati diri. Nilai jual melejit. Bisa ikut parpol mana saja yang mengutamakan urusan dunia.

 Penjara merupakan kawah candradimuka bagi kawanan politisi sipil. Sejalan dengan sambutan bak pahlawan ideologi di internal partainya. Tidak ada batasan umur, usia di industri politik. Kecuali yang akan menggunakan hak pilihnya di pesta demokrasi.

Di judul lain sudah saya ujar tertulis bahwasanya (partai) politik menjadi satu-satunya mata pencaharian yang tak perlu syarat néko-néko: daya moralitas, aspek santun, rasa sensitivitas, jiwa ksatria, sifat kerakyatan.

Tahun politik 2018 dan 2019 sarat dengan simbol atau pratanda anomali musim. Ironis binti miris, semua fakta lapangan diterjemahkan dengan bahasa manusia. Dibaca dengan dalil dan kaidah matematis. Dieja dengan mata kepala.

Kalkulasi politik mengandalkan bahasa manusia. Di atas kerta, ditunjang hasil survei tanpa survei, pasti menang. Masuk kategori belum meminang sudah menimang. Durung éntuk gawé wis woro-woro. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar