INDONESIA–ku, gejolak
jiwa vs perang batin
Efek domino animasi,
film kartun atau produk sejenis, sudah merasuk ke lubuk hati penyelenggara
negara. Lupa akan hakikat garam meja. Garam memang kerabat utama bumbu dapur. Tidak
dicampur saat masak.
Saat hidangan tersaji,
terasa hambar, tambah rasa sesusai selera. Sambal, kecap, garam, cuka bisa
diimbuhkan sebagai penyedap. Pihak lain, kucing zaman now, sudah meninggalkan peradabannya. Tidak ada yang berani menduga, kucing garong yang tampil terang benderang, di luar karung.
Bisa jadi, bukan kucing
bawaan nabi Nuh a.s.
“Sing rugi kucing”, sudah tidak berlaku di syahwat politik menu dan racikan Nusantara. Mantan
napi, bekas warga binaan lapas, rutan dan ikhwal lainnya, menunjukkan jati diri.
Nilai jual melejit. Bisa ikut parpol mana saja yang mengutamakan urusan dunia.
Penjara merupakan kawah candradimuka bagi
kawanan politisi sipil. Sejalan dengan sambutan bak pahlawan ideologi di
internal partainya. Tidak ada batasan umur, usia di industri politik. Kecuali yang
akan menggunakan hak pilihnya di pesta demokrasi.
Di judul lain sudah saya
ujar tertulis bahwasanya (partai) politik menjadi satu-satunya mata pencaharian
yang tak perlu syarat néko-néko: daya moralitas, aspek santun, rasa sensitivitas, jiwa ksatria, sifat
kerakyatan.
Tahun politik 2018 dan
2019 sarat dengan simbol atau pratanda anomali musim. Ironis binti miris, semua
fakta lapangan diterjemahkan dengan bahasa manusia. Dibaca dengan dalil dan
kaidah matematis. Dieja dengan mata kepala.
Kalkulasi politik
mengandalkan bahasa manusia. Di atas kerta, ditunjang hasil survei tanpa survei,
pasti menang. Masuk kategori belum meminang sudah menimang. Durung éntuk gawé wis woro-woro. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar