umpan silang, curi start sejak dini vs bobol di laga kandang
Masud hati diwènèhi
ati ngrogoh rempelo. Habis-habsan banting harga diri. Berakhir
gigit jari kaki sendiri. Padahal, sudah
pakai rumus komoditas tahun
politik, jual mahal vs banting harga. Kalkulasi politik di atas kertas, sudah tersirat
hasil akhir yang didambakan.
Bulé sawo matang, yang masuk jajaran
sebagai manusia politik. Tampil yakin diri dengan “wajah tak berseri”. Merasa
tak layak berwajah kerakyatan. Merasa badan ini gerah jika harus berkeringat,
cuma untuk berebut kursi. Maunya disuapi alias dikursii. Tentunya amanah bukan
dari arah depan, belakang maupun arah samping kanan dan samping kiri. Terlebih
dari bawah, lapisan rakyat.
Langkah catur politik, gerilya
politik, manuver politik penyelenggara negara memang konsekuensi logis dari
dinamika demokrasi. Rakyat tak protes. Parpol yang tampilan hebat, hanya
sekedar kendaraan politik. Rakyat lebih suka genjot sepeda onthèl.
Secara politis, anak bangsa pribumi
menjadi budak di negeri sendiri. Kendati statusnya internasional. Minimal
regional. Tugas dan fungsinya sebagai perpanjangan tangan, agen, perwakilan
asing atau efek domino kolaborasi dengan pihak tertentu. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar