kagok plus kéok, sebelum berkokok di kandang sendiri
Fenomena ijazah “aspal” utawa asli tapi palsu. Menyangkut pasal hukum, tak
selamanya berakhir di lapas. Metode kompromis. Sama-sama tanggung renteng risiko.
Tidak kenal etos “kapok lombok” atau “tomat” usai tobat langsung kumat. Habis sembuh
langsung kambuh.
Nasib anak bangsa nusantarra dipetakan dalam warna
politik, selang lima tahunan. Pergulatan oknum kawanan parpolis untuk menjadi
penguasa, sedemikan terperikan. Daya lokal hingga daya global, diberdayakan sampai menggusur kandungan komponen
lokal. Tinggal wana, merek, logo, lambang partai yang masih orisinal,
asli, tulen. Simbol moncong méncang-méncong, bukti meringankan adanya gerakan omong-doang alias germo.
Solidaritas yang pasti-pasti. Sesama
tetangga bisa terjadi pinjam garam. Atau berbagai beras untuk rakyat miskin. Kebijakan berbagi-pakai model multipartai.
Ingat sejarah. Negara rakyat Indonesia menolak faham antara lain monarchi (kepala
negara berketurunan). Jangan melupakan katanya, menurut cerita turun temurun.
Anak cucu ideologis tak ada matinya.
Bumbung kosong pada pilkada serentak bukti lapuk dan busuk sistem politik dinasti. [HaéN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar