wibawa
negara tergantung hasil survei internasional
Pemerintah Jokowi
plus/minus JK, lebih percaya sekaligus mengandalkan nilai rapor yang
dikeluarkan oleh sekolah internasional. Memang, negara ayau badan pemberi
bantuan kepada Indonesia, dalam bentuk utang luar negeri utawa bantuan tidak
gratis, bantuan mengikat dengan sederet kewajiban yang harus dilakukan,
dipenuhi oleh NKRI.
Bantuan yang tidak
gratis yang sejatinya justru kita yang menghidupi mereka.
Agar pemerintah berbaik
sangka kepada mereka, maka dengan sanjungan politik, hati pemerintah menjadi
lumer. Pemberi utang, sudah siap dengan skim utang berikutnya. Utang yang lama
belum lunas, belum jatuh tempo, sudah ditawari utang pola baru, modus terkini.
Dengan perang urat
syarat, maka posisi NKRI diangkat oleh negara dan/atau badan pemberi utangan,
seolah-olah pemerintah atau penguasa memang layak, pantas, patut sebagai negara
penerima utang. Dengan embel-embel prestasi pembangunan atau dengan kata lain
pengunaan uang utang, telah tepat sasaran, pas manfaat dan sesuai skenario mereka.
Karakter dan watak dasar
manusia politik, yang tak rela melihat orang lain lebih eksis, tentu akan
melakukan modus beebagai pasal. Soal ada sentimen negatif rakyat terhadap
kinerja penguasa, itu hanya dari segelintir oknum. Toh hasil pengendusan serta
pewarta membuktikan sebaliknya. Bukan sekedar ala ABS zaman Orde Baru.
Sekarang ini yang diutamakan
bagaimana investor politik merasa girang melihat kemajuan Nusantara. Bagaimana arahan
mereka dilaksanakan tanpa pakai lama. Bagaimana manusia politik kepercayaan
mereka telah bekerja dengan nilai rapor, minimal memuaskan. Jika terjadi seolah
antara pihak yang memerintah dengan pihak yang diperintah, bak kutub berseberangan.
Reaksi pasar dunia
menjadi patokan, bahwa NKRI masih eksis, berkibar dan layak diperhitungkan. Jangan
sampai pemain lokal berani-berani main geser, gusur. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar